“Greenpreneurship” Mendesak
Oleh: Dedi Purwana
Bencana karhutla, banjir, tanah longsor seolah menjadi ritual tahunan di republik ini. Besarnya kerugian ekonomi menjadi beban bagi korban terdampak. Sebuah pertanyaan besar untuk direnungkan, mengapa bangsa ini begitu rentan terhadap bencana alam? Ironisnya belum nampak upaya serius mencegah atau setidaknya mengurangi berulangnya fenomena alam tersebut. Polemik di ruang publik hanya diisi seputar saling lempar tanggungjawab penyebab bencana tersebut.
Akibat kabut asap misalnya, kegiatan pembelajaran di sekolah jelas terganggu dan tidak efektif. Bahkan, beberapa sekolah diliburkan karena jarak pandang yang terbatas akibat kabut asap. Perputaran roda perekonomian terhenti. Arus barang dan jasa dari daerah terdampak praktis terhambat. Moda transportasi darat, laut dan udara harus menanggung beban kerugian akibat penundaan jadwal keberangkatan. Belum lagi udara bersih dianggap mahal bagi masyarakat di daerah-daerah tersebut, yang seharusnya dapat dihirup secara gratis.
Sebelum terlambat, semua pihak perlu koreksi diri dan berbenah. Perlu ada langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan lingkungan hidup kita sekaligus mengurangi potensi kerugian ekonomi. Pemerintah dan masyarakat seyogianya menyadari arti penting edukasi kewirausahaan ramah lingkungan, atau sering dikenal greenpreneurship. Sebuah isu hangat dalam pengembangan pendidikan kewirausahaan. Tujuannya tentu tidak lain agar terlahir wirausaha-wirausaha yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Peran Keluarga
Edukasi greenpreneurship harus dimulai dari setiap pribadi masyarakat. Kita adalah homo economicus—meminjam istilah ilmu ekonomi. Setiap hari kita selalu mengambil keputusan ekonomi terkait terbatasnya sumberdaya dibandingkan kebutuhan. Sayangnya, pemahaman mendalam tentang sumberdaya yang terbatas itu seringkali terkikis. Itu karena kita selalu terjebak atau dininabobokan dengan pandangan bahwa sumberdaya bangsa ini melimpah ruah, dan boleh dieksploitasi sesukanya. Pandangan semacam ini dalam persfektif ilmu ekonomi tentu tidak tepat. Siapapun pelaku ekonomi harus bijak memperlakukan sumberdaya alam dalam transaksi ekonomi.
Dalam lingkungan keluarga, edukasi greenpreneurship dimulai dengan mendidik anak untuk hemat energi. Sejak usia dini, orang tua harus mengajari anak mereka mana sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan mana yang tidak. Tentu saja dalam menjelaskan hal tersebut orang tua mempergunakan bahasa yang dapat dimengerti sesuai usia anak mereka. Bentuk pendidikan lain, misalnya orang tua mendiskusikan beban biaya langganan listrik, PAM, dan gas bersama anak. Kebiasaan ini akan mendidik sikap dan perilaku hemat energi.
Perilaku belanja juga harus mulai selektif dengan mempertimbangkan produk yang dibeli; apakah ramah lingkungan atau tidak. Produk apapun yang dibutuhkan, setidaknya keputusan pembelian sudah mulai mempertimbangkan nilai kemanfaatan bagi lingkungan. Contoh sederhana, misalnya menolak penggunaan kantong plastik yang sulit didaur ulang untuk mengemas barang belanjaan.
Tugas Bersama
Kewirausahaan ramah lingkungan harus diajarkan di berbagai jenjang pendidikan baik formal maupun formal. Anak didik misalnya, harus mulai diajari bagaimana mencintai, merawat dan menjaga keberadaan hutan. Pembelajaran ilmu alam, tidak melulu ditekankan pada hafalan anotomi tubuh hewan dan tumbuhan, tetapi juga mengajari anak didik bagaimana berinteraksi dengan hutan dan alam sekitar mereka. Ajarkan pula bagaimana dampak kerugian ekonomi manakala mereka tidak peduli dengan kelestarian alam. Bila semua ini dilakukan, maka akan menjadi bekal bagi anak didik kita di kemudian hari untuk menjadi produsen bijak, konsumen cerdas, penabung sekaligus investor bertanggungjawab.
Model pendidikan “sisipan”, menurut Shiwaku & Saw (2008), memang tidak mudah. Para guru dituntut memiliki pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang baik mengenai konsep dan implementasinya. Artinya, mereka juga harus paham apa saja terkait dengan greenpreneurship, bagaimana strategi yang tepat untuk menyampaikan, dan bagaimana memanajemen proses pembelajaran di kelas secara efektif, menarik dan menyenangkan. Pada sat yang sama, sekolah dengan menggandeng pelaku bisnis dapat mengadakan kegiatan greenpreneur day sebagai kegiatan ekstra kurikuler.
Tidak hanya sekolah, pelaku bisnis juga dapat mengambil manfaat dari penerapan greenpreneurship ini. Keberhasilan program kewirausahaan ramah lingkungan tercermin dari perilaku kerja karyawan dalam menghemat berbagai sumberdaya perusahaan. Pengendalian penggunaan kertas secara bijak dengan menerapkan paperless office, mengatur penggunaan AC ruang kantor, menggunakan air sesuai kebutuhan, menerapkan kebijakan bike to work, sebagian contoh sederhana yang dapat diterapkan di perusahaan. Tujuannya bukan sekedar mengefisienkan biaya operasional, akan tetapi menggugah kesadaran bahwa eksploitasi sumberdaya lingkungan yang berlebih, sama dengan mewariskan persoalan sosial bagi generasi mendatang.
Pemerintah pusat diharapkan mendukung penuh program greenpreneurship yang dilakukan masyarakat. Pemerintah harus memberikan reward dalam bentuk insentif bagi pelaku bisnis berwawasan lingkungan. Pemerintah juga harus memberikan punishment bagi entitas bisnis yang tidak peduli lingkungan. Formula penghitungan pajak kendaraan bermotor misalnya, perlu diubah. Semakin tua usia pemakaian kendaraan seharusnya semakin tinggi beban pajaknya seiring dengan bertambahnya emisi karbon yang dihasilkan kendaraan berusia tua. Edukasi pengalihan pemakaian premium ke bahan bakar ramah lingkungan haruslah diintensifkan. Lembaga pendidikan dapat dijadikan mitra dalam kegiatan sosialisasinya.
Pemerintah daerah juga dituntut aktif, misalnya dengan mengeluarkan regulasi kebijakan yang pro lingkungan. Regulasi kebijakan ini diejawantahkan dalam bentuk, misalnya memperketat persyaratan keharusan menerapkan kaidah green building pada saat permohonan IMB. Selanjutnya, izin penambangan dan pengelolaan hutan tidak lagi diberikan atas nuansa KKN dan semata-mata hanya untuk menambah pundi-pundi kas daerah, tetapi lebih mengedepankan pertimbangan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pada akhinya, tanggungjawab mengedukasi kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan kewirausahaan ramah lingkungan harus dipikul bersama. Kesuksesan program pendidikan tersebut dapai dicapai manakala tugas dan peran para pengampu kepentingan dilaksanakan secara konsisten. Dengan melaksanakan edukasi greenpreneurship, secara tidak langsung kita telah ikut menjaga kelestarian lingkungan alam bagi generasi mendatang. Semoga [ ].
*Artikel terbit di Koran Jakarta Edisi Kamis, 26 November 2015
Posting Komentar untuk "“Greenpreneurship” Mendesak"