Ketimpangan Ekonomi dan Panama Papers
Oleh: Dedi Purwana
Beberapa hari terakhir ini, media massa dihebohkan dengan merebaknya isu Panama papers. Pro kontra terkait isu ini menjadi polemik hangat. Dokumen tersebut memuat nama-nama mulai dari kalangan selebritis, olahragawan, pejabat negara, pengusaha sukses hingga pemilik kartel narkoba. Segelintir pejabat negara dan pengusaha kakap Indonesia tidak luput dalam daftar tersebut. Ini tentu membuat miris. Ditengah angka kemiskinan yang masih tinggi di negara ini, sebagian pejabat publik dan pengusaha kita justru memarkir modalnya di luar negeri.
Para pengusaha tersebut tentu
sebelum mampu memarkirkan dananya di negara surga pajak, mereka melakukan
kegiatan bisnis di dalam negeri. Sebagian besar produk dan jasa mereka dibeli
oleh konsumen dalam negeri, meski ada juga produk yang diekspor. Namun sungguh
ironis, profit yang telah mereka dapatkan justru diinvestasikan di luar negeri.
Bukan diinvestasikan kembali di tanah air. Strategi demikian meskipun sah-sah
saja dalam dunia bisnis, namun tentunya tidak memberikan nilai tambah ekonomi
bagi bangsa ini.
Menteri keuangan mencatat sekira Rp.
11.400 triliun harta segelintir orang Indonesia terparkir di luar negeri.
Jumlah ini setara lima kali lipat nilai APBN 2016. Angka tersebut juga lebih
tinggi dari nilai PDB tahun 2015 yang mencapai Rp11.136
triliun. Andai
saja dana tersebut mampu ditarik ke tanah air, tentu pemerintah tidak lagi
terseok-seok mencari pinjaman luar negeri. Dengan dana sebesar itu pula, tak
terhitung lapangan pekerjaan tersedia di tanah air. Distribusi pendapatan
setidaknya mulai merata sehingga mengikis ketimpangan ekonomi yang dialami
bangsa ini.
Beragam Motif
Terkait kasus Panama papers, para
pengamat ekonomi dan bisnis menilai wajar seorang pelaku bisnis menanamkan
investasi di negara-negara yang menjanjikan surga bagi para investor. Atas nama
perolehan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi, mereka berlomba berinvestasi
dengan jalan mendirikan perusahaan-perusahaan offshore. Mereka seolah tidak
peduli tingginya disparitas pendapatan rakyat di negeri sendiri. Bila demikian,
nasionalisme para pengusaha tersebut tentu patut dipertanyakan.
Motif lain pelarian dana ke luar
negeri adalah penghindaran pajak. Mereka beranggapan investasi di negeri ini
berbiaya ekonomi tinggi. Perijinan yang bertele-tele selain menghabiskan waktu
juga berbiaya tinggi. Infrastruktur yang tidak terkelola dengan baik pun
menjadi penyebab enggannya investor berkiprah di tanah air. Lemahnya kepastian
hukum dalam berinvestasi menjadi persoalan tersendiri bagi investor. Investor
manapun tentunya memerlukan jaminan kepastian hukum. Insentif pajak sebagai
pemanis kegiatan investasi nampaknya masih jauh dari harapan.
Pelarian dana ke luar negeri semacam
ini biasanya juga untuk mengaburkan jejak pencucian uang. Beredarnya beberapa
nama pejabat tinggi publik, pengusaha dan kartel narkoba dalam dokumen tersebut
mengarah kepada dugaan adanya tindakan pencucian uang. Meski tentu perlu
pembuktian lebih lanjut. Oleh karenanya, aparat penegak hukum sepatutnya
bertindak cepat menelisik dugaan tindakan ilegal tersebut.
Solusi
Menarik dana yang sudah terlanjur
terparkir di luar negeri tentu tidak mudah. Selain kesadaran dan nasionalisme
tinggi dari para pelaku bisnis yang menyimpan dananya di luar negeri, sikap pro
aktif pemerintah juga sangat diharapkan.
Beberapa langkah berikut kiranya dapat menjadi bahan pemikiran.
Pertama, benahi pendidikan
karakter. Upaya pencegahan pelarian dana ke luar negeri dapat dilakukan melalui
pendidikan karakter di sekolah dan kampus. Nasionalisme dan kepedulian terhadap
ketimpangan ekonomi dapat dibangun sejak kecil dan dimulai dari lingkungan
keluarga. Pendidikan bela negara jangan hanya sekedar wacana yang menghiasi
diskusi-diskusi publik tetapi terapkan segera. Ini dimaksudkan untuk
membangkitkan semangat nasionalisme rakyat yang saat ini mulai pudar.
Kedua, merevitalisasi pendidikan kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan entah di sekolah ataupun kampus seyogianya mampu
menanamkan semangat kebangsaan. Capaian pembelajaran tidak semata-mata
menciptakan peserta didik untuk mampu menjadi seorang pengusaha sukses akan
tetapi lebih dari. Membentuk pengusaha yang memiliki kepedulian sosial tinggi.
Para pelaku bisnis yang peduli terhadap kemiskinan di sekitar lingkungan
mereka.
Ketiga, pemerintah dan legislatif
segera mengesahkan RUU Pengampunan Pajak (Tax
Amnesty). Meski terkesan terlambat dan bukan satu-satunya instrumen bagi
terciptanya iklim investasi kondusif, RUU pengampunan pajak tentu sangat
diharapkan oleh pengusaha ditanah air. Singkirkan ego masing-masing pihak, agar
pembahasan RUU tersebut tidak bertele-tele. Mulailah kedua belah pihak memikirkan
kepentingan kesejahteraan rakyat yang lebih jauh. Tax amnesti sebagai bagian
dari kebijakan insentif pajak akan memicu para investor dalam dan luar negeri
untuk betah menanamakan modalnya di tanah air.
Keempat, benahi berbagai aturan investasi.
Saatnya pemerintah menghapus citra negatif terkait kebijakan investasi. Pandangan
para investor bahwa berinvestasi di Indonesia memerlukan biaya tinggi harus
segera dihapus. Negara ini terkenal rajin menyusun berbagai regulasi namun
justru menghambat kepentingan investasi. Bahkan banyak regulasi yang
dikeluarkan saling tumpang tindih. Padahal investor berniat untuk menanamkan modal
manakala ada kepastian hukum. Saatnya pemerintah menjadikan negara ini surga
bagi para investor.
Kelima, penegakkan hukum.
Terkuaknya dokumen Panama harus segera diselidiki para penegak hukum untuk
memilah mana yang legal dan tidak legal. Pemilahan ini penting bagi upaya
penindakan terhadap pelarian dana yang tidak legal, seperti penghindaran pajak
dan pencucian uang haram. Para penegak hukum, dirjen pajak dan PPATK diharapkan
segera merespon kasus ini. Dirjen pajak misalnya mulai menganalisis dokumen tersebut
dengan cara membandingkan kewajiban pajak yang telah dibayarkan sesuai SPT
dengan profil penghasilan dan harta orang-orang yang tercatat dalam papers
tersebut.
Pada akhirnya, semua komponen
bangsa harus sadar bahwa ketimpangan ekonomi masih terjadi di negara yang kita
cintai. Kepedulian pada kaum marjinal merupakan kewajiban kita semua sebagai
makhluk sosial. Saatnya, spirit
nasionalisme dan cinta tanah air dibuktikan para pelaku bisnis untuk tidak
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.
Semoga kasus kasus ini berkurang dinegri tercinta ini, terimakasih prof sangat menarik untuk dipahami...
BalasHapusSangat bermanfaat,bagus, dan menambah wawasan. Semoga polemik polemik di negeri ini segera mendapatkan solusinya dan semoga para warga negara Indonesia membuka kesadaran mereka untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air
BalasHapussangat menarik dan bermanfaat serta mengedukasi pak
BalasHapus