Menegakkan (Lagi) Kedaulatan Maritim
Oleh: Dedi Purwana
Sebait syair lagu berjudul Nenek Moyangku Seorang Pelaut menggambarkan betapa gagah beraninya nenek moyang kita. Sosok yang gemar mengarungi luas samudera tanpa rasa takut.
Sejarah membuktikan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya telah berhasil mempersatukan wilayah Nusantara. Jangkauan pelayaran dua kerajaan tersebut bahkan jauh hingga Madagaskar. Namun, kejayaan maritim masa lampau telah redup. Bangsa ini tertatih-tatih menjaga kedaulatan lautnya sendiri. Tak satu pun negara di dunia yang memiliki jumlah pulau sebanyak Indonesia.
Foto oleh Nick Bondarev dari Pexels
|
Garis pantai yang dimiliki terpanjang di dunia. Data geografis menunjukkan bangsa ini memiliki daratan seluas 1.910.931,32 km2 dan lautan terhampar seluas 3.544.743,9 km2. Keanekaragaman hayati di dalamnya anugerah tak ternilai bagi bangsa ini. Sumber daya laut bernilai 8,6% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2015. Manakala dioptimalkan lagi, tentu kontribusinya akan jauh lebih besar. Ironis, kedaulatan ekonomi di lumbung ikan ini jauh dari harapan tersebut.
Mimpi menjadi poros maritim dunia sulit terwujud. Negara menghadapi kesulitan memelihara dan mengawasi pekarangan lautnya sendiri. Negara seolah lupa akan amanat konstitusionalnya. UUD 1945 jelas menyuratkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara (bukan asing) dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Begitu tak berdayanya negara hingga membiarkan kapal-kapal asing mengeruk sumber daya ekonomi lautnya secara bebas tanpa rasa takut. Illegal fishing merajalela, sementara nelayan kita semakin terpuruk tanpa daya. Penghancuran puluhan kapal asing yang ditengarai mencuri ikan di perairan kita toh tidak menimbulkan efek jera. Kapal-kapal asing dengan arogannya menginjak-injak kedaulatan maritim bangsa ini. Teriakan lantang seorang Susi Pujiastuti pun tak mampu lagi mencegah pelanggaran batas wilayah laut. Nota protes yang dikirim pemerintah bahkan dianggap angin lalu.
Salah Arah
Ketidakberdayaan menegakkan kedaulatan laut menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa bangsa ini yang dulunya pernah menjadi poros maritim dunia sekarang tidak lagi? Jika ditelisik lebih jauh, ternyata pada masa kolonial kaum penjajah telah berhasil melumpuhkan kejayaan laut bangsa ini. Kaum penjajah memaksa rakyat menjadi masyarakat agraris. Reorientasi tersebut dilandasi kepentingan untuk menguras hasil bumi bangsa ini.
Kondisi ini berlanjut hingga bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, Bung Karno berupaya mengembalikan kejayaan laut yang pernah dimiliki bangsa ini. Ini dibuktikan dengan munculnya Deklarasi Djuanda pada 1957 yang melahirkan konsep wawasan Nusantara. Konsep ini memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Nusantara.
Wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut, dan tanah yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Untuk merealisasikan konsep tersebut dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres Nomor 19/1960. Sayangnya, pada masa Orde Baru orientasi pembangunan lebih terfokus lagi pada wilayah daratan.
Gemah ripah loh jinawi – kredo yang menunjukkan bangsa ini dianugerahi kesuburan alam - membuat masyarakat kita terlena. Matra darat pun lebih dianakemaskan ketimbang matra laut dan udara. Pembelian kapal perang bekas untuk Angkatan Laut misalnya marak dilakukan pada saat itu. Setali tiga uang, kondisi pesawat-pesawat tempur milik Angkatan Udara pun sangat memprihatinkan.
Aksi Nyata
Mengembalikan Indonesia sebagai poros maritim dunia diusung pemerintahan Jokowi-JK. Visi ini tentu tidak mudah dicapai. Beberapa langkah berikut seyogianya patut dipertimbangkan. Pertama, menanamkan sadar bahari bagi generasi muda. Edukasi bahari saat ini terkesan dikelola seadanya. Program tersebut tidak mampu menarik minat dan menyadarkan kaum muda untuk mencintai laut. Cinta bahari seyogianya ditanamkan sejak anak berusia dini.
Selain itu, wawasan Nusantara semestinya juga diinduksi ke dalam kurikulum jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Sumber daya manusia program studi kelautan perlu ditingkatkan kualitasnya. Desain kurikulum program studi kelautan mesti dibuat semenarik mungkin tanpa mengabaikan kualitas isi dan proses. Kedua, modernisasi alustista laut. Kondisi memprihatinkan manakala mendengar sebagian besar kapal perang milik TNI AL berusia puluhan tahun.
Bisa dibayangkan dengan kondisi seperti ini, sulit diharapkan kemampuannya untuk mengawal sekaligus mengawasi pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Kapal-kapal patroli milik Bea Cukai, Satpol Air, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seyogianya dimodernisasi pula. Ketiga, pemberdayaan nelayan. Kedaulatan laut seyogianya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi nelayan. Maraknya pencurian ikan dan kebijakan reklamasi pantai yang bermasalah menyebabkan penghasilan nelayan semakin tergerus.
Upaya penangkapan kapal asing yang mencuri sumber daya laut di perairan Indonesia harus terus dipacu. Tugas ini tentu tidak hanya dibebankan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun juga menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua. Selain itu, maraknya kebijakan reklamasi pantai yang notabene hanya menguntungkan segelintir pemodal kuat selayaknya ditinjau ulang. Keempat, pemanfaatan teknologi citra satelit.
Luasnya wilayah perairan negara ini menimbulkan persoalan tersendiri terkait pengawasan. Jumlah personel yang terbatas dibandingkan luas laut ibarat bumi dan langit. Saatnya instansi terkait memanfaatkan teknologi satelit untuk kepentingan pengawasan teritorial perairan. Teknologi tersebut mampu menjawab kendala minimnya personel dan sumder daya pendukung lainnya. Kelima, penegakan hukum secara tegas. Negara berdaulat tercermin dari upaya penegakan hukum secara konsisten. Pelanggaran kedaulatan laut tidak boleh pandang bulu.
Pemerintah harus tegas menindak para pelanggar batas teritorial laut dari negara mana pun mereka berasal. Pada saat yang sama, diplomasi internasional perlu diperkuat untuk mengatasi berbagai permasalahan pelanggaran batas wilayah perairan. Akhirnya, kedaulatan ekonomi bangsa ini tidak akan pernah tercapai ketika kedaulatan maritim terabaikan.
Penegakan kedaulatan laut memang tidaklah mudah. Namun, kita harus tetap optimistis bahwa bangsa ini mampu berdaulat di sektor apa pun. Semoga asa menjadikan negara ini sebagai poros maritim dunia dapat terwujud.
Artikel terbit di Koran SINDO edisi 19 Mei 2016
Posting Komentar untuk "Menegakkan (Lagi) Kedaulatan Maritim"