Membangun Rekam Jejak Akademik Menuju Profesor
Oleh: Dedi Purwana
Postingan kali ini merupakan bagian dari seri artikel dengan tema peta jalan menuju professorship. Substansi postingan kali ini sebenarnya tidak lebih dari pernak-pernik pengalaman penulis meraih jabatan akademik profesor. Profesor adalah amanah. Terselip tugas melahirkan profesor-profesor baru dalam memaknai amanah tersebut. Bukan sebaliknya menghambat dosen lain untuk meraih jabatan yang satu ini karena khawatir akan menjadi pesaing. Rangkaian artikel ini ditujukan bagi sobat dunia kampus khususnya kolega dosen yang memiliki mimpi dan tergerak untuk menggapai jabatan akademik guru besar.
Image by André Santana AndreMS from Pixabay |
Tanyakan kepada setiap dosen, apakah mereka punya mimpi meraih jabatan akademik tertinggi sebagai seorang profesor? Hampir dapat dipastikan jawaban mereka ya, meski mungkin diiringi rasa galau apakah mungkin saya bisa menjadi guru besar. Kegalauan semacam itu adalah hal yang wajar mengingat tidak mudahnya meraih mimpi tersebut.
Pertanyaan yang sering ajukan ke penulis ketika bertemu atau berdiskusi dengan kolega dosen ya seputar kiat-kiat atau resep untuk dapat meraih jabatan akademik guru besar. Penulis selalu menjawab normatif karena tidak ingin para dosen berpersepsi sulitnya dan bahkan tidak mungkin mampu meraih profesorship. Saya katakan tidak ada resep khusus. Yang terpenting adalah setiap dosen sejak awal berkiprah di profesi yang satu ini memperhatikan rekam jejak akademik. Pada saat yang sama, penulis kerap balik bertanya mengapa mereka ingin menjadi profesor?
Apabila kita bertanya pada para profesor, alasan apa yang mendasari mereka tergerak saat itu untuk mengusulkan diri menjadi guru besar? Setidaknya ada tiga alasan berikut:
Pertama, Profesionalisme. Dosen merupakan sebuah profesi. Tuntutan untuk selalu meningkatkan profesionalisme menjadi sebuah keniscayaan. Profesionalisme tercemin dari bagaimana dosen merencanakan dan melaksanakan pengembangan karir akademiknya. Sesuai peraturan perundangan, jabatan akademik dosen terdiri dari Pengajar, Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala dan Guru Besar/ Profesor. Maknanya, guru besar bukan semata tuntutan profesi tetapi juga hak setiap dosen untuk dapat meraihnya.
Kedua, finansial. Tidak dapat dipungkiri alasan sebagai dosen mengajukan usulan ke guru besar dilatarbelakangi peroleh finansial berupa tunjangan kehormatan. Dosen dengan jabatan akademik profesor berhak memperoleh tunjangan kehormatan sebesar 2 kali gaji pokok diluar tunjangan profesi dosen. Teringat seloroh Prof M. Nasir mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada setiap kesempatan selalu mengatakan “profesor itu jabatan yang enak secara finansial. Bagaimana tidak? Baru bangun tidur saja negara sudah membayar Rp. 500.000,- per hari”. Tentu seloroh ini dimaksudkan agar dosen yang telah menyandang jabatan akademik profesor tidak lantas produktifitasnya menurun setelah memperoleh SK guru besarnya dan menikmati tunjangan kehormatan.
Ketiga, Personal branding. Alasan ini lebih kepada keinginan dosen mendapat pengakuan kepakaran dalam komunitas keilmuan. Pengakuan komunitas keilmuan berlandaskan rekam jejak akademik guru besar tersebut. Meminjam terminologi hirarki motivasi nya Abraham Maslow, alasan ini berada di level teratas yaitu aktualisasi diri. Dengan menyandang jabatan profesor dalam bidang ilmu tertentu, para anggota komunitas keilmuan tentu akan menjadikan konsep, teori atau model yang dilahirkan profesor tersebut sebagai acuan penelitian-penelitian mereka. Pengakuan seperti inilah yang sejatinya tidak dapat dinilai secara finansial.
Selain meminta resep sukses meraih guru besar, kolega dosen kerap mengeluhkan usulan guru besarnya yang selalu ditolak. Namun tidak sedikit kolega dosen yang sekali usul, langsung disetujui. Ketika mendapatkan berondongan pertanyaan semacam ini, penulis selalu balik bertanya apakah usulan guru besar mereka sudah sesuai dengan rekam jejak akademik?
Rekam jejak akademik merupakan seluruh catatan produk dan kiprah akademik dosen sesuai bidang keilmuannya. Meski persoalan lineritas keilmuan masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Namun yang pasti, pemahaman terkait linieritas penting agar dosen mampu merancang peta jalan karir akademiknya.
Masyarakat akademis dan umum lainnya akan menilai sosok seorang profesor sebagai individu yang mumpuni dalam kajian keilmuan yang ditekuninya (tidak zig-zag). Sebagai contoh, dosen yang berpendidikan S3 ilmu manajemen, maka penelitian dan karya ilmiah yang dipublikasikan harus sejalan dengan ilmu manajemen. Selain itu, penugasan akademis bidang pengajaran, maka matkul yang diampu seputar rumpun ilmu manajemen. Bukan asal bisa mendapatkan jadwal mengajar apapun mata kuliahnya. Ini yang harus dijaga agar rekam jejak akademik terjaga dengan baik.
Ingat Usulan guru besar akan direview oleh tim reviewer Kemendikbudristek. Tim reviewer tidak semata-mata fokus hanya menilai karya ilmiah pemenuhan syarat khusus saja. Akan tetapi mereka akan mentracing kiprah akademik pengusul. Apakah pengusul memiliki rekam jejak pernah mempublikasikan artikel di Jurnal Internasional Bereputasi, jurnal internasional, jurnal nasional terakreditasi, jurnal nasional peringkat Sinta, prosiding internasional dan nasional, menulis artikel opini di media masa, menulis buku referensi, monograp atau book chapter, dan buku ajar.
Ketika pengusul menoreh catatan lengkap kiprah akademisnya di beragam media ilmiah tersebut, tentu akan membuat tim penilai terkesan. Sekali lagi harap diingat untuk tidak hanya fokus sekedar memenuhi karya ilmiah syarat khusus tetapi melupakan rekam jejak di media lainnya. Di sinilah penilaian linieritas berlaku. Meski seorang pengusul mampu mempublikasikan karya ilmiah di beragam media ilmiah, penting diperhatikan substansi karya ilmiah tersebut wajib sejalan dengan bidang keilmuan yang selama ini ditekuni. Lagi-lagi tidak boleh zig-zag!
Strategi demikian setidaknya akan memperlancar proses pengusulan dan penilaian. Buat target sekali usul langsung disetujui. Kalau pun berkas dikembalikan, pastikan hal tersebut dikarenakan kekurangan persyaratan administrasi, bukan karena kekurangan jumlah angka kredit, apalagi ditolak karena karaya ilmiah syarat khusus belum terpenuhi.
Percayalah bahwa jabatan akademik guru besar itu adalah hak setiap dosen untuk mendapatkannya. Semua kembali kepada dosen apakah mau memanfaatkan hak tersebut atau mengabaikannya. Selamat merancang peta jalan menuju profesor!
Posting Komentar untuk "Membangun Rekam Jejak Akademik Menuju Profesor"