Mengarusutamakan (Lagi) Kewirausahaan di Indonesia
Indonesia, sampai saat ini dikenal sebagai negara besar dengan sumber daya alam melimpah, serta jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Kedua faktor produksi tersebut mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga Indonesia masuk ke jajaran kelompok Negara G-20—kelompok negara dengan nilai Product Domestic Bruto (PDB) terbesar di dunia. Fakta ini juga yang membuat bangsa Indonesia masuk ke jajaran middle income countries.
Foto oleh David McBee dari Pexels |
Di sisi lain, berdasarkan profil kependudukan, Indonesia diprediksi akan memanen bonus demografi pada tahun 2035. Bonus demografi adalah proporsi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar secara signifikan dibandingkan jumlah penduduk usia muda dan usia lanjut. Jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya, 30 persen, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun).
Bonus demografi ini, tentu akan membawa dampak sosial – ekonomi. Dari aspek sosial, angka ketergantungan penduduk, yaitu tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk nonproduktif (usia tua dan anak-anak) akan sangat rendah, diperkirakan mencapai 44 per 100 penduduk produktif. Sedangkan dari aspek ekonomi, melimpahnya jumlah penduduk usia produktif akan menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Dampak lanjutannya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian, kondisi menguntungkan ini dapat berbalik arah menjadi bencana, bila negara ini tidak siap menyambut kedatangannya. Permasalahan yang paling krusial adalah ketersediaan lapangan pekerjaan, penyediaan layanan kesehatan dan akses terhadap pendidikan.
Bonus demografi yang akan dirasakan bangsa ini beberapa dekade mendatang memberikan peluang bertambahnya kelas menengah di Indonesia. Besarnya jumlah penduduk usia produktif tentu berpotensi meningkatkan pula jumlah wirausaha. Namun demikian, bangsa ini harus mengantisipasi gejala ekonomi makro berupa middle income trap. Jebakan ini biasanya ditandai dengan rasio investasi yang rendah, pertumbuhan industri manufaktur yang lambat, industri yang kurang terdiversifikasi dan kondisi pasar tenaga kerja yang buruk. Pemerintah harus memiliki strategi jitu untuk menghindarinya. Penciptaan lapangan kerja, investasi bidang infrastruktur, dan penyiapan SDM berkualitas agar pembangunan berkelanjutan tetap terjaga. Di sini pemerintah punya andil besar untuk memperkuat pendidikan kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membekali mahasiswa dengan kompetensi pengetahuan, sikap dan ketrampilan sebagai wirausahawan. Learning Outcome dari pendidikan ini adalah menciptakan wirausaha yang mampu memberdayakan ekonomi baik untuk dirinya maupun masyarakat. Sosok individu-individu tangguh yang terdorong untuk memanfaatkan peluang, mencari terobosan, dan menggali nilai tambah ekonomi. Mereka sadar masyarakat membutuhkan kiprahnya.
Saat ini jumlah wirausaha di Indonesia saat ini tergolong relatif minim. Data menunjukkan hanya pada kisaran 3,4% dari total penduduk Indonesia. Meskipun menurut berbagai penelitian, sebuah negara akan menikmati kemajuan ekonomi bila ditopang kuantitas wirausahanya paling tidak 2,5%. Benar bahwa jumlah wirausaha di tanah air sudah lebih dari 2,5%.
Namun demikian, jumlah tersebut masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Singapura. Mereka inilah kelompok “tangan di atas”, mau berbagi atas kesuksesan finansialnya kepada kelompok “tangan di bawah”. Kelompok ini mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di tanah air.
Menumbuhkan kembangkan minat dan semangat kewirausahaan bukan persoalan sepele. Rendahnya kreatifitas dan inovasi masih melekat di setiap aspek kehidupan bangsa ini. Padahal dalam pespektif kewirausahaan, kreatif dan inovatif merupakan kata kunci menjadi wirausaha unggul. Pendidikan perlu berbenah diri. Satuan pendidikan perlu membuka peluang tumbuhkembangnya kreatifitas dan inovasi di ruang-ruang pembelajaran. Pendidikan formal belumlah mampu mengarahkan peserta didik untuk menjadi wirausaha. Kurikulum masih berkutat pada melatih kompetensi anak didik untuk siap kerja. Padahal pendidikan kewirausahaan penting ditanamkan sejak usia dini.
Minimnya jumlah wirausaha di tanah air tidak terlepas dari aspek sosial budaya masyarakat. Kultur priyayi yang ditanamkan oleh penjajah bangsa ini menyebabkan masyarakat lebih bersikap apatis terhadap wirausaha. Mereka beranggapan bahwa menjadi wirausaha identik dengan resiko tinggi. Masyarakat lebih senang dengan kemampanan dan tanpa resiko. Orang tua mendidik anaknya agar kelak mereka dapat bekerja di perusahaan bergengsi dengan gaji besar. Hampir bisa dipastikan pola asuh semacam ini akan mencetak mindset anak untuk menjadi job seeker, bukan sebagai job creator.
Kondisi demikian masih diperparah dengan model pendidikan di sekolah hingga Perguruan Tinggi yang tidak memberikan ruang tumbuhnya kreativitas dan inovasi—kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha. Kalaupun saat ini kita berwirausaha, tidak lebih karena kondisi terpaksa akibat PHK atau sebagai usaha sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Oleh karenanya, masyarakat harus sadar akan arti pentingnya perubahan dari mental priyayi kepada sikap dan mental wirausaha. Masyarakat harus melakukan revolusi mental kewirausahaan.
Posting Komentar untuk "Mengarusutamakan (Lagi) Kewirausahaan di Indonesia"