Karakteristik Kepemimpinan Mahasiswa (Pelajar) Di Era Perubahan
Gambar oleh Markus Winkler dari Pixabay |
Kita patut berbangga, karena pertemuan kita kali ini, yang membahas berbagai upaya membangun kepemimpinan mahasiswa di masing-masing kampus atau negara, merupakan upaya pertama kali di dalam implementasi kesepakatan sepanjang sejarah kerjasama itu. Saya menyatakan hal itu, karena menurut hemat saya, implementasi kesepakatan IMS-GT selama ini terlalu berat kepada aspek-aspek peningkatan hubungan ekonomi. Jarang sekali, atau bahkan baru pertama kali ini, kita duduk bersama mendiskusikan, mewacanakan, bagaimana kita membangun hubungan serumpun itu di dalam konteks mendekatkan calon-calon pemimpin masa depan.
Calon pemimpin yang akan mengelola kepemimpinan di masing-masing negara, terutama mereka yang sumber kepemimpinannya berasal dari lingkungan kampus atau universitas. Kehadiran berbagai tokoh mahasiswa (pelajar) dari Indonesia, Malaysia dan Singapore bahkan Brunei Darusalam yang disertai juga oleh para ‘pembina’, pengasuh kegiatan yang berkait dengan kemahasiswaan atau hal ehwal pelajar, pada hari ini sangat menggembirakan.
‘Kerjasama serumpun’, belakangan ini, sering diplesetkan oleh orang. Kita kerap kali memaknai ‘serumpun’ itu kalau kita sedang berada di dalam masalah ,atau ketika timbul konflik politik diantara negara kita. Kita baru menyatakan bahwa kita serumpun bila kita hendak menyelesaikan problema yang bersangkut karut, serta menjadi isu politik di dalam hubungan penyelenggaraan negara. Tetapi, kita lalai bahwa sangkut karut itu banyak disebabkan oleh keadaan dimana masing-masing kita, rakyat di masing-masing negara kita, pemimpin di masing-masing pemerintahan, kurang memiliki pemahaman, kurang mempunyai hubungan sebagaimana layaknya ‘hubungan antar tetangga’.
Keadaan seperti di atas dapat dimaklumi, karena kita sadar bahwa apa yang kita kerjakan selama ini masih berkutat kepada kegiatan-kegiatan transaksi ekonomi. Kita lupa membangun persahabatan dan saling pengertian diantara elemen masyarakat kita. Kita lalai di dalam ‘menyatukan’ pemahaman yang menyeluruh tentang masing-masing karakteristik, kekuatan dan kelemahan yang ada pada bangsa dan negara masing-masing. Kita lupa ‘mempertemukan dan mendidik’ calon-calon pemimpin masa depan secara bersama-sama. Oleh karena itu, menurut hemat saya, pertemuan atau konferensi seperti sekarang ini memiliki landasan yang amat kuat untuk memperkukuh kerjasama diantara bangsa-bangsa serumpun, sehingga kerjasama ini tidak dimaknai hanya sekedar mengejar target-target ekonomi, yang kemudian bisa hancur berantakan apabila kita melupakan target-target sosial. Target-target sosial semacam ini sangat berpeluang memberi warna terhadap masa depan hubungan diantara negara serumpun ini.
Pembahasan di dalam makalah saya kali ini akan saya fokuskan kepada upaya membangun calon pemimpin (mahasiswa) masa depan. Fokus ini saya pilih karena saya melihat bahwa pada masa depan itu terdapat begitu banyak ragam variasi karakteristik kepemimpinan, yang jikalau kita luput mengidentifikasinya, maka kita akan mengalami ‘keterjerembaban’. Kita kemudian terpuruk di dalam arus perubahan modernisasi yang bersifat mendunia. Kita akan menjadi bangsa-bangsa yang ‘kalah’ dalam dunia persaingan.
Masalah Krusial
Ada beberapa masalah krusial yang harus kita perhatikan ketika kita ingin membangun pemimpin (mahasiswa) masa depan, sebagaimana tema tulisan singkat ini. Masalah krusial itu antara lain menyangkut (1) persoalan masa depan, (2) sosok pemimpin mahasiswa, dan (3) ‘bentuk bangunan’ yang hendak kita rancang sesuai masa depan yang kita rumuskan bersama.
Mungkin ada baiknya kita mulai diskusi ini dengan memetakan apa yang kita maksudkan dengan ‘masa depan’ itu. ‘masa depan’ seringkali kita perbincangkan. Kita senantiasa senang untuk membahas dan mendiskusikannya, seolah-olah masa depan itu menjadi harapan, cita-cita kita semua. Tetapi, kita, kerap kali, tidak paham tentang ‘masa depan’ itu. Masa depan yang kita gambarkan juga selalu menjadi ‘misteri’ yang merangsang munculnya pertanyaan-pertanyaan: Apakah ‘masa depan’ seperti itu yang kita gambarkan? Apakah ‘masa depan’ yang akan kita capai itu sesuai dengan yang tertulis dalam buku atau dokumen? Apakah masa depan yang dibayangkan orang yang hendak kita tuju? Masa depan, bagi kebanyakan orang, sering menjadi bayangan yang tidak terlalu pasti. Tetapi masa depan itu selalu saja menjadi dambaan setiap orang. Masa depan, kemudian, menjadi sangat misterius, sekaligus ia juga menjadi sesuatu yang sangat diharapkan, sangat menjanjikan.
Itulah sebabnya, kata ‘masa depan’ mempunyai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, yakni antara harapan, cita-cita, gambaran ideal, ‘kecenderungan’, ‘kegandrungan’, dengan misteri yang ada dibalik cita-cita, kegandrungan, gambaran ideal, harapan yang melekat pada kata itu.
Kita seringkali menyaksikan bahwa banyak orang sukses merumuskan ‘masa depan’ tetapi mereka ‘gagal’ di dalam mencapai masa depan yang dirumuskan itu. Persoalannya terletak pada apakah ‘masa depan’ itu memang ada pada diri kita? Apakah masa depan itu ada pada spirit kita? Apakah masa depan itu ada pada prilaku kita? Apakah masa depan itu menjadi idealisme kita? Apakah masa depan itu menjadi bagian dari kehidupan kita? Apakah masa depan itu milik kita? Apakah masa depan itu klop atau ‘matching’, atau paralel dengan lembaga kita? Apakah masa depan itu kompatibel dengan nilai-nilai yang kita kembangkan? Apakah masa depan itu ‘in-line’ dengan kerja komunitas kita? Apakah masa depan itu, memang, merupakan tujuan kita bersama? Apakah masa depan itu milik kita bersama? Apakah masa depan itu kita rumuskan, kita rencanakan dengan sistematis? Apakah masa depan itu kita akan capai dengan program yang terukur, jelas, transparan? Apakah masa depan itu akan kita raih bersama-sama atau dengan sendirian saja? Dan sebagainya.
Karakteristik Masa Depan
Jika begitu misterius dan mempesonanya ‘masa depan’ itu, maka kita harus dengan sigap mengetahui karakteristik apa saja yang melekat pada ‘masa depan’ itu. Pemahaman yang menyeleruhuh terhadap ‘sosok masa depan’ menjadi salah satu kunci bagi kita untuk sampai kepada gambaran masa depan yang kita inginkan. Lagi pula, masa depan itu tidak bersifat statis. Masa depan seringkali bergerak dengan amat dinamis, spektakuler, dan juga membawa ‘nilai paksa’ bagi kita yang hidup di dalam lingkaran atau pusaran masa depan tersebut. Dengan demikian, ada baiknya kita mulai mengidentifikasi tren masa depan itu.
Tren pertama yang harus kita pahami bahwa ‘masa depan’ yang ingin dan telah kita rumuskan itu dipengaruhi oleh apa yang sering kita sebut sebagai globalisasi. Kata ini mengandung makna yang beragam. Ada kalangan yang menyatakan bahwa globalisasi itu lebih bersifat ‘economic dimension’, dimana terjadi perubahan-perubahan terhadap lokasi spasial dari semua aktivitas (bisnis) manusia yang juga berdampak langsung pada dimensi-dimensi sosial, kultur dan politik. Sebagian kalangan melihat bahwa globalisasi juga merupakan ‘core business’ kompetisi yang sangat menumpukan aktivitas kehidupan manusia dari nilai-nilai ‘comparative advantage’. Dimensi ini mendorong perubahan ‘wajah’ umat manusia. Manusia baru akan bisa ‘survive’ bila ia memiliki keunggulan komparatif.
Sebagian orang mengartikan globalisasi sebagai berubahnya dunia yang semula ‘bersifat bundar’ menjadi dunia yang ‘bersifat datar atau flats’. Risiko perubahan ‘model dunia’ ini mengindikasikan bahwa dalam pergaulan kita sehari-hari, kita tidak bisa lagi hanya bertumpu pada ‘kemampuan diri sendiri’. Kita amat tergantung dan terkoneksi dengan ‘kemampuan orang lain”. Ketika kita sedang berkumpul, seperti sekarang ini, kita berdiskusi dengan memakai alat tulis buatan China, menggunakan alat pendingin udara Nasional Panasonic buatan Jepang, meminum air mineral buatan Indonesia, Malaysia, atau Singapura, berkomunikasi dengan telpon bimbit Nokia buatan Finlandia, memakai baju jas atau dasi dari bahan tekstil buatan India, Memakai baju terbuat dari kain batik buatan asli Indonesia, menggunakan LCD Projector buatan Taiwan, memakai sepatu Bally buatan Italia, datang ke pertemuan ini (ruangan ini) mengendarai mobil Toyota buatan Jepang, KIA buatan Korea atau Proton buatan Malaysia, dan sebagainya. Dunia kita menjadi sangat datar.
Adalah biasa, sekarang ini, apabila kita bergaul dengan orang-orang asing ditempat kita duduk atau berdiri. Jika dahulu atau beberapa tahun yang lalu, kita baru bisa menemukan orang asing duduk disamping kita kalau kita berada di luar negara kita. Saat ini, kita bisa duduk bersama mereka di café-café, di plasa-plasa, di Mal-Mal, tanpa kita harus pergi keluar negeri. Kehidupan bersama antara etnis, antar budaya, antar agama, antar status sosial menjadi biasa dan lazim. Orang berada dalam suasana lintas daerah, lintas kota serta lintas budaya. Orang hidup dalam suasana multi kultur dan plural. Tidak ada lagi kehidupan mono-kultur dan ‘single culture’. Yang terjadi kemudian adalah ‘community culture’, budaya bersama, kehidupan “masyarakat bersama”. Bukan “kehidupan masyarakat sendiri”.
Oleh sebab itu, dunia kita saat ini, dipengaruhi oleh globalisasi. Karakteristik kehidupan kita, di kota, di desa, di kampus, di kantor, di masyarakat, di komunitas adalah mengglobal. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan kehidupan yang mengglobal itu? Apa yang diartikan orang sebagai karakteristik masyarakat global?
Ada banyak jawaban dan interpretasi terhadap karakteristik masyarakat (kampus) mengglobal itu. Diantara interpretasi itu adalah bahwa sebagian orang melihat globalisasi itu sebagai proses internasionalisasi. Di sini, globalisasi dipandang sebagai ‘cross-border relations between countries’. Kehidupan kita sudah tidak memiliki sekat-sekat, batas-batas. Batas dalam pengertian awam sudah menjadi sumir. Kehidupan mahasiswa kita sekarang secara dini diketahui juga oleh mahasiswa lain yang berada di belahan dunia yang lain. Kejadian, hiruk pikuk, kegiatan kampus kita, yang sekarang kita sedang lakukan, atau sesuatu yang kita anggap rahasia, dalam hitungan detik dapat diketahui dengan persis sama oleh orang yang ada diluar kita. Oleh sebab itu, salah satu karakteristik masa depan itu berkaitan dengan ‘pertukaran internasional’ (international exchange) dan saling ketergantungan. Kita tidak mungkin lagi bekerja sendiri untuk menghadapi masa depan. Tetapi, kita harus melakukan itu bersama-sama, saling memberi, saling menukar, saling bergantung satu sama lain. Adalah mustahil mengerjakan atau membangun masa depan yang kita rumuskan itu dengan sendirian, karena semua ‘transaksi’ masa depan memerlukan orang lain, siapapun mereka dan dimanapun mereka berada.
Interpretasi lain menyatakan bahwa globalisasi itu dilihat sebagai liberalisasi. dimana semua kebijakan kita—terutama kebijakan yang diambil oleh sebuah pemerintahan—harus dilakukan secara terbuka. Kebijakan-kebijakan tidak bisa dibangun dengan memperkuat retriksi. Retriksi harus dikurangi. Regulasi-regulasi baru dibangun, dikembangkan, dirumuskan, ditetapkan kalau regulasi itu ditujukan untuk kepentingan bersama. Tidak boleh terjadi lagi regulasi yang berpihak kepada kelompok tertentu. Hambatan-hambatan terhadap kegiatan produktif umat manusia harus dihilangkan. Dengan demikian, fungsi pemerintah, penguasa hanya sebatas membuat regulasi dan mengawasi penerapan regulasi. Fungsi pemerintah lebih difokuskan kepada menyusun aturan main bersama dan wasit bagi pelaksanaan aturan main bersama. Pemerintah, penguasa, para pemegang otoritas harus dapat memberikan ‘equal treatment’ terhadap seluruh stakeholder. Keterlibatan pemerintah, penguasa, pemegang otoritas menjadi kecil, kalau bukan seminimal mungkin.
Sebagian kelompok lagi melihat bahwa globalisasi dicirikan oleh intensifikasi hubungan sosial umat manusia yang bersifat mendunia. Di sini masalah link, jaringan, pembangunan jaringan menjadi salah satu kunci kehidupan umat manusia. Kita, sekarang ini, dapat menyaksikan dengan jelas, dengan terang benderang bahwa sebuah aktivitas atau peristiwa yang terjadi di negeri kita dapat saja dikontrol, dibentuk, dikendalikan oleh orang lain yang berada jauh sekali dari negeri kita. Apa yang terjadi di Jakarta, bisa saja dilakukan oleh orang yang sedang minum kopi di California, atau dikendalikan oleh sekelompok orang yang sedang berekreasi di pantai Copacobana, atau dioperasikan oleh sekelompok orang yang sedang berdoa di Vatikan dan sebagainya. Itulah sebabnya, kita sering menyaksikan hiruk pikuk di lantai bursa efek, penurunan nilai mata uang rupiah dan nilai mata uang lainnya, yang disebabkan oleh imbas dari fluktuasi nilai dollar yang diperdagangkan di bursa Wallstreet atau Hanseng. Atau kita bisa melihat dengan jelas kesengsaraan masyarakat Irak oleh serangan militer AS, Inggris dan Spanyol yang dikontrol dari Pentagon.
Ada juga orang melihat globalisasi sebagai proses modernisasi (merujuk kepada bentuk atau model masyarakat Amerika— ingin seperti Amerika), dimana kehidupan umat manusia dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Tiada hari tanpa perubahan, sekecil apapun perubahan itu. Di dalam masyarakat yang dinamis semacam ini, pergaulan orang lebih bersifat rasional, obyektif, kalkulatif, yang seringkali ‘menyerang’ nilai-nilai yang dipandang sebagai ‘nilai lama’, ‘nilai lokal’, ‘nilai usang’, ‘nilai kuno’. Semua nilai lama itu dilihat sebagai sesuatu yang tidak kompatibel dengan perubahan, karena nilai-nilai lama itu tampak seperti ‘lamban’, ‘sempit’, ‘bersifat mistik’, ‘tak memiliki landasan data akurat’, ‘kurang fleksibel’, ‘tak realistik’. Nilai-nilai lama itu hanya cocok pada masyarakat yang bersifat transisional, Tetapi sangat tidak cocok di dalam masyarakat modern. Suatu masyarakat modern yang condong kepada sikap kapitalistik, rasional, industrial, partisipatif, akuntabel, mempromosikan hak-hak azasi, serta meletakan manusia sebagai ‘pusat pembangunan’.
Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)
Posting Komentar untuk "Karakteristik Kepemimpinan Mahasiswa (Pelajar) Di Era Perubahan"