Memimpin Universitas Di Era Turbulensi
Persoalan kepemimpinan di lembaga universitas juga menjadi problematik, sebab masalah kepemimpinan itu tidak bersifat berdiri sendiri. Ia juga terkait dengan berbagai hal, terutama berkelindan dengan tuntutan akan mutu, kualitas. Tuntutan akan mutu atau kualitas juga sangat berhubungan dengan wajah sebuah organisasi. Kualitas juga sering disebut sebagai ‘a way of life’ bagi organisasi.
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay |
Pertanyaan sederhana dapat kita ajukan disini bahwa bagaimana jalan yang harus kita tempuh agar kita dapat meningkatkan mutu, dan dengan begitu sekaligus juga mendorong terbangunnya kebanggaan (pride) terhadap lembaga. Atau dalam bahasa yang lebih jelas dapat saya katakan sebagai ‘keinginan yang kuat untuk menjadi yang terbaik’, a passion for excellence. Salah satu titik kuncinya adalah ‘kepemimpinan yang kuat’, strong leadership.
Untuk bertindak sebagai pemimpin
universitas yang kuat, menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Pertama,
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus dilakukan oleh sebuah kepemimpinan universitas yang kuat? Menurut hemat saya terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan sekaligus dikerjakan di dalam suatu kepemimpinan universitas. Mereka itu adalah:
Pertama, Setiap kepemimpinan universitas harus memahami dengan seksama tentang apa yang menjadi visi dan symbol lembaga universitas itu. Ia harus mampu mengkomunikasikan nilai-nilai yang ada dibalik rumusan visi dan simbol universitas itu, sehingga semua warga universitas—tenaga pengajar, staf administrasi, mahasiswa, orang tua, masyarakat, tenaga pendukung lainnya—memahami nilai-nilai yang akan dan harus dicapai oleh universitas.
Banyak pengalaman telah mengajarkan bahwa kegagalan sering terjadi dan dialami oleh sebuah kepemimpinan universitas dikarenakan banyak warga universitas yang tidak memahami dengan benar apa yang menjadi visi dan misi universitas itu. Sebagian besar warga universitas bekerja atas dasar kehendaknya sendiri. Atau bahkan mereka bekerja berdasarkan acuan interpretasi dirinya sendiri terhadap percapaian masa depan universitas. Apa yang dikehendaki terjadi oleh pimpinan universitas tidak persis sama dipahami oleh warga universitas, sehingga masing-masing berjalan dengan sendirinya. Pimpinan universitas bekerja sesuai dengan kehendaknya sendiri, staf pengajar juga melaksanakan kegiatannya dengan sesukanya sendiri, sementara staf administrasi juga melakukan pekerjaannya dengan rutinitas yang sama tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Kedua, Kepemimpinan universitas harus dikembangkan dengan
Pemimpin tidak bisa lagi hanya
berada ‘di atas’, ‘di menara gading’. Pemimpin dan
Pertama, pelanggan lapis pertama yakni mereka yang secara langsung menerima pelayanan lembaga universitas. Mereka itu adalah para mahasiswa, tenaga pengajar serta staf administrasi. Kepemimpinan universitas harus mempunyai hubungan ‘kedekatan’ dengan mahasiswa, tenaga pengajar dan staf administrasi. “pelanggan” jenis ini boleh kita sebut sebagai pelanggan utama, ‘primary customer’.
Kedua, pelanggan di level kedua yang juga akan banyak mempengaruhi kinerja kepemimpinan universitas. Pada level kedua ini terdapat orang tua mahasiswa, pejabat pemerintahan, warga sponsor (kelompok orang yang dapat memberikan sponsorship terhadap kegiatan universitas), pemimpin lembaga-lembaga diluar universitas yang dapat berafiliasi, berkolaborasi, bekerjasama dengan universitas. Pelanggan di level kedua ini juga harus mendapatkan perhatian yang cukup atau memadai. Keteledoran pemimpin universitas terhadap ketersediaan untuk membangun hubungan yang dekat pada pelanggan garis kedua ini akan banyak menghambat perkembangan dan peningkatan kinerja lembaga. Pelanggan jenis ini saya sebut sebagai ‘secondary customers’.
Ketiga, pelanggan lapisan ketiga sesungguhnya tidak terlalu mempunyai hubungan langsung dengan lembaga universaitas yang kita kelola, tetapi kadang kala ia memiliki ‘crucial stakeholding in education’. Pelanggan ini, seringkali, juga sangat menentukan kehadirannya terutama ketika para lulusan kita ingin masuk ke dunia kerja, ketika mereka memberi persepsi kepada kinerja lembaga univerasitas kita, ketika mereka memberikan penilaian terhadap ‘trade mark’ lembaga universitas kita, ketika mereka memposisikan lembaga universitas kita. Kepemimpinan universitas juga harus memiliki kesadaran yang penuh terhadap pelanggan jenis ketiga seperti itu. Pelanggan seperti ini saya sebut sebagai “tertiary customers”.
Keempat, pelanggan yang seringkali oleh kepemimpinan universitas diabaikan. Bahkan bukan mustahil dimusuhi, dieleminasikan. Pelanggan jenis keempat ini ada dan berkecimpung di dalam lembaga universitas itu sendiri. Mereka adalah para tenaga pengajar, staf administrasi, atau bahkan mahasiswa yang selalu berpikir kritis, melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan universitas. Mereka melaksanakan berbagai analisa kritis terhadap penyelenggaraan universitas yang dipandangnya agak berlainan dengan jalan yang harus ditempuh berdasarkan persepsi mereka terhadap pencapaian target universitas. Para ‘kritikus’ ini adalah sekelompok orang yang bekerja dan menyediakan diri bekerja sebagai ‘sparring partner’ bagi pimpinan universitas di dalam melaksanakan, mengimplementasikan vis, misi dan cara pencapaian tujuan bersama itu. Mereka juga memiliki harapan dan cita-cita yang sama dengan warga dan pimpinan universitas. Mereka juga mempunyai energi dan keinginan besar untuk mewujudkan mimpi bersama tentang masa depan universitas. Perbedaannya hanya terletak pada cara pandang dan pendekatan yang diyakini dapat mempercepat pencapaian cita-cita bersama. Pelanggan jenis ini saya sebutkan sebagai ‘internal customer’.
Seorang pimpinan universitas, menurut hemat saya, harus memiliki kemampuan membangun komunikasi yang intensif kepada keempat jenis pelanggan seperti yang saya sebutkan di atas. Kegagalan di dalam mengembangkan interaksi positif terhadap keempat jenis pelanggan tersebut akan membawa akibat kepada tersendatnya kinerja lembaga universitas, atau bahkan mungkin akan terjadi proses involusi partisipasi. Jika hal ini terjadi, lembaga universitas itu akan mengalami pelambatan perkembangan. Pelambatan perkembangan, apabila terjadi terus menerus, sistematis akan berdampak kepada menyurutnya ‘passion and pride’, bahkan berpengaruh besar kepada ‘a passion for excellence’, antusiasme warga universitas, intensitas kerja dan turunannya.
Jikalau demikian, maka salah satu ‘kepiawaian’ kepemimpinan universitas yang harus dikuasai adalah membangun ‘sense of whole, rhythm, passion, intensity and enthusiasm. Kepiawaian ini merupakan salah satu kunci utama atau merupakan syarat yang paling mendasar atau kualifikasi yang sangat penting bagi seorang pemimpin di sebuah lembaga pendidikan seperti universitas. Kepemimpinan universitas harus dapat hadir disetiap level kelembagaan agar proses peningkatan kinerja, peningkatan mutu dapat berlangsung terus menerus. Komitmen terhadap mutu, kualitas, yang menjadi pendorong utama corak kepemimpinan di dalam era perubahan sekarang ini menjadi prasyarat yang tak dapat dihindarkan. Peningkatan kualitas, sebagai syarat minimum mengikuti kompetisi di dalam era perubahan, adalah sangat penting untuk mendorong kualitas koordinasi di dalam kepemimpinan. Pemimpin, selain juga berfungsi sebagai ‘penguasa’, pengelola kekuasaan, tetapi juga bersamaan dengan itu ia berfungsi sebagai ‘manajer’. Oleh karena itu, ia juga bertindak sebagai manajer maka ia harus menyediakan waktunya untuk ‘memimpin, memerintah. “manager have more time to lead, plan ahead, develop new ideas and work closely with customer”, kata Sallis.
Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)
Posting Komentar untuk "Memimpin Universitas Di Era Turbulensi"