Strategi Membangun Kapasitas Manajemen Perguruan Tinggi
Jika kita amati secara seksama, banyak sudah lembaga pendidikan tinggi mengalami keterpurukan karena tidak mampu bersaing dan berkompetisi secara terbuka. Bahkan, belakangan ini kompetisi sudah bersifat ‘head to head’. Hal seperti itu tidak dapat dihindari. Kompetisi merupakan sesuatu yang menjadi keharusan di era yang sudah terbuka, datar dan mengglobal.
Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay |
Kita sekarang ini, sambil
membaca tulisan ini, sambil mengikuti pertemuan nasional seperti ini, sambil mengikuti
seminar seperti ini, dapat menyaksikan dan membaca banyak sekali perguruan
tinggi yang berlomba-lomba memasarkan atau mengiklankan lembaganya agar dapat
dipilih menjadi salah satu tujuan belajar oleh para pelajar kita yang baru
lulus dari sekolah menengah. Kita juga menyadari sepenuhnya bahwa pilihan
terhadap penentuan untuk belajar disebuah institusi tidak hanya ditentukan oleh
gencarnya iklan dan kampanye, tetapi banyak ditentukan dari kepercayaan,
reputasi dan ‘brand’ dari lembaga itu. Masyarakat kita sudah cerdas. Mereka
melihat iklan dan kampanye itu sebagai sesuatu bagian kehidupan ‘pasar bebas’
yang ingin merebut hati mereka. Mereka juga tahu bahwa dibalik iklan dan
kampanye tersubut juga terdapat ‘bungkus’ atau ‘kemasan’ yang belum tentu sesuai
dengan isi yang dijanjikan. Mereka melakukan semua itu karena mereka tidak
menghendaki terjadinya ‘krisis’ pada lembaga pendidikan yang mereka kelola.
Mereka harus berjuang dengan gigih untuk mempromosikan lembaganya menjadi ‘the
number one’.
Namun perlu juga kita sadari
bahwa segala sesuatu itu tidaklah bersifat statis, diam dan final. Selalu saja
ada pergerakan yang bersifat dinamis. Inilah yang saya sering sebut sebagai
perubahan. Lembaga-lembaga pendidikan kita harus selalu ‘dirawat’, diperbaiki,
ditingkatkan kapasitas kelembagaanya agar ia dapat dengan fleksibel menerima
dan menghadapi perubahan itu. Kita menghendaki bahwa lembaga pendidikan kita
dapat berkembang dengan mengesankan, tetap sehat organisasinya, bahkan bila
dimungkinkan terus tumbuh dan membesar, sehingga ia tidak saja pandai bermain
di tingkat lokal, tetapi juga ia dapat bermain ditingkat yang lebih besar. Itu
sebabnya, agar lembaga dapat bertahan hidup, menurut hemat saya, kapasitas
lembaga harus selalu ditingkatkan.
Pertanyaannya adalah melalui
apa kita dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan pendidikan kita ? Jawaban
singkat yang saya dapat ajukan disini adalah kemampuan kita dalam mengelola
lembaga pendidikan dengan menggunakan model atau metode manajemen perubahan.
Manajemen perubahan yang saya maksudkan adalah adanya kesediaan kita (semua
orang yang terlibat di dalam organisasi lembaga pendidikan) untuk mulai
berbenah diri, menata diri, melihat kekuatan dan kelemahan yang ada di dalam
organisasi dan lembaga kita. Kita harus jujur dan obyektif tentang keadaan
lembaga kita, sehingga kita dapat memetakan semua masalah yang sedang kita
hadapi. Memetakan diri kita sendiri. Menentukan posisi diri kita di dalam
keseluruhan konteks lembaga pendidikan kita. Kemudian kita juga menyiapkan diri
untuk masuk kepada kompetisi, setelah memperbaiki secara terencana, teratur dan
konsisten setiap kelemahan yang kita miliki itu.
Pengelolaan lembaga
pendidikan tinggi dengan menggunakan model manajemen perubahan mungkin akan
lebih mudah dipahami jika saya ungkapkan dengan pernyataan pertanyaan sebagai
berikut : Apakah orang-orang yang ada dan terlibat di dalam organisasi
pendidikan kita sudah berubah? Apakah cara kita berinteraksi ---baik internal
maupun eksternal---untuk mengembangkan lembaga kita sudah berubah? Apakah untuk
bertarung dalam kompetisi terbuka, kekuatan yang kita miliki sekarang ini cukup
kuat untuk berubah? Apakah teknologi yang kita pilih juga sudah sesuai dengan
perubahan? Apakah cara-cara kita memberi pelayanan juga sudah berubah? Apakah
tampilan organisasi kita sudah berubah? Apakah standar hasil produksi lembaga
pendidikan kita juga sudah berubah? Apakah birokrasi lembaga pendidikan kita
juga berubah? Apakah posisi komitmen pencapaian organisasi dan lembaga
pendidikan kita sudah berubah? Apakah cara kita mengelola lembaga pendidikan
kita juga sudah berubah?
Kalau kita sederhanakan,
peningkatan kapasitas kelembagaan organisasi dapat kita fokuskan kepada tiga
unsur utama yakni perubahan terhadap struktur kelembagaan (bersifat struktural),
perubahan orientasi individu atau orang kearah yang lebih maju (bersifat
attitude), dan perubahan terhadap
spesialisasi fungsional di dalam proses penyelesaian tugas dan tanggung jawab
(bersifat prosesual). Perubahan struktural misalnya dapat dilakukan lewat
merumuskan dan membangun kembali lembaga universitas/pendidikan tinggi sesuai
dengan ‘brand image’ yang hendak dikembangkan. Dengan demikian, harus ada
kesediaan kita untuk melepaskan ‘mitos-mitos usang’ tentang tanda-tanda
kelembagaan yang kurang dapat memberi citra positif untuk kelangsungan masa
depan lembaga pendidikan tinggi kita. Kita juga harus dapat menyesuaikan diri
dengan integrasi teknologi yang dikuasai oleh lembaga-lembaga strategis diluar
kita.
Sedangkan perubahan pada
orientasi individu berkaitan langsung dengan sikap budaya kita di dalam penyelenggaraan
organisasi. Kita memerlukan tranformasi sikap tradisional yang didasarkan
kepada adat-adat, kebiasaan, mitos atau konvensi-konvensi yang kurang
menguntungkan kepada sikap-sikap yang lebih rasional, kritis, jelas, terukur
dengan motif-motif bertindak untuk mencapai prestasi tertinggi. Aspirasi
berprestasi, semangat untuk menjadi yang terbaik, semangat egaliter yang
seharusnya mengemuka. Semangat semacam itulah yang banyak memberi peluang
terjadinya proses modernisasi di dalam peningkatan kelembagaan pendidikan kita.
Semangat seperti itu pula yang harus kita bina dan tingkatkan kapasitasnya.
Dalam bahasa yang lebih
strategis, lembaga pendidikan harus selalu melakukan inovasi agar produk-produk
yang dihasilkannya tetap dapat ‘dikonsumsi’ oleh para pelanggannya. Strategi
yang bersifat prospektif tidak mesti dilakukan dengan cara membuat inovasi
produk baru, tetapi strategi itu dapat juga dilaksanakan dengan teknik
memberbaharui produk lamanya agar tetap sejalan (in-line) dengan perkembangan
tuntutan zaman serta kemungkinan perubahan prilaku pelanggan kita.
Atau mungkin kita juga dapat
melakukan hal-hal yang berbeda sama sekali dengan strategi seperti di atas.
Kita juga dapat mengembangkan apa yang saya sebut sebagai upaya-upaya
penganalisaan. Upaya ini dilakukan dengan cara kita bersama melakukan
identifikasi dan pemetaan pesaing kita. Kita mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin tentang apa yang dimiliki, apa yang menjadi kekuatan, apa yang menjadi
ciri khas, dan apa yang menjadi ‘core’ dari produk kompetitor lembaga
pendidikan kita. Jika kita kemudian merasa bahwa kita juga dapat melakukan hal
yang sama, mengembangkan produk yang sama, jurusan yang sama, konsentrasi
akademik yang sama, pelayanan yang sama—dan kemudian produk-produk yang sama
itu dapat dikembangkan secara prospektif—maka kita juga dapat memproduksinya.
Dalam posisi seperti ini, dengan kesadaran yang penuh, sesungguhnya kita sedang
‘memperertaruhkan’ bahwa lembaga pendidikan kita dipandang cukup menjadi pemain
nomor dua. Kedudukan ini, secara teoritis tidaklah menjadi persoalan. Yang
terpokok adalah posisi lembaga pendidikan tinggi kita di ‘nomor dua’ yang
mendampingi ‘nomor satu’. Kita dapat mempertahankan kapasistas lembaga kita
sebagai ‘pendamping’. Dalam kedudukan seperti itu, lembaga kita akan tetap
terpelihara sebagai lembaga yang diperhitungkan di dalam nomor dua. Inilah
strategi yang memungkinkan kita untuk masuk kedalam arus keras perubahan dan
persaingan. Kemampuan untuk meletakan posisi, dengan cara mengembangkan produk
kelembagaan yang mirip atau sama, juga harus menjadi kapasitas yang dimiliki di
dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi. Apalagi kita menyadari bahwa
lembaga-lembaga pendidikan yang kita asuh sekarang ini masih mempunyai
kelemahan di
Strategi yang paling
konservatif juga bisa kita laksanakan. Kita dapat saja ‘berdiri tegak dan
tetap’ pada produk-produk yang secara tradisional menjadi pusat kekuatan
lembaga pendidikan kita. Dengan demikian, kita nyaris tidak ingin meluncurkan
produk-produk baru. Kita tidak ingin memperluas jurusan baru, tidak ingin
menambah program baru. Kita meletakan diri sebagai defender atau lembaga
pendidikan yang ingin bertahan di dalam kekuatan produk lama yang memang
sejaklama dibina serta dikembangkan. Secara prinsipil, pengembangan strategi
organisasi semacam ini boleh saja, tetapi strategi ini baru akan bekerja
efektif apabila bersamaan dengan itu lembaga kita melakukan upaya-upaya
peningkatan efisiensi di hampir semua lini. Jargon yang popular kita ulangi
lagi yakni efisiensi, efisiensi dan efisiensi.
Pilihan-pilihan terhadap
pengembangan strategi seperti di atas, tentu saja, harus selalu memperhatikan
visi dan misi lembaga yang telah kita rumuskan bersama. Sebab, membangun
organisasi bukan saja persoalan mengembangkan strategi-strategi, tetapi juga
kita harus memperkokoh budaya organisasi. Budaya organisasi ini dapat
ditingkatkan kapasitasnya dengan memberikan perhatian yang seksama kepada
proses pembentukan budaya organisasi itu, kualitas orang yang ada di dalam
organisasi, melakukan kontrol yang kuat terhadap pembentukan budaya organisasi
itu melalui pembangunan sistem kelembagaan yang lebih pasti serta terukur. Jika
hal-hal seperti itu dapat kita lakukan dengan sabar, tekun dan konsisten, maka
kita dapat berharap bahwa pengelolaan lembaga pendidikan tinggi kita dapat
meningkat dengan signifikan. “Masuk kepada nalar kita”. Nalar menjadi akhir
yang penting.
Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)
Posting Komentar untuk "Strategi Membangun Kapasitas Manajemen Perguruan Tinggi"