Urgensi Keteladanan, Etika dan Talenta di Perguruan Tinggi
Salah satu kapasitas utama yang harus dimiliki seseorang untuk dapat tampil dengan efektif di dalam meningkatkan manajemen pendidikan adalah keteladanan. Banyak orang beranggapan bahwa keteladanan itu sepantasnya harus dilakukan lebih dahulu oleh para pemimpin negara, rektor, para pembantu rektor, para dekan, para ketua lembaga, para ketua jurusan, para guru besar, para pemimpin umat, para kiai, para ustad, para tokoh dan sebagainya.
Gambar oleh Peggy und Marco Lachmann-Anke dari Pixabay |
Pandangan seperti ini adalah pandangan yang sangat bersifat feodalistik, aristokratik, bahkan cenderung mengarah kepada sikap-sikap ketertutupan. Menurut pandangan saya, keteladanan harus datang dari semua kita. Keteladanan bukan hak dan monopoli para pemimpin. Kita semua, sebagai stakeholder lembaga pendidikan tinggi, harus dapat bersikap teladan, dapat diteladani. Karena sikap keteladanan itu lebih bersifat egaliter, terbuka.
Persoalan keteladanan itu juga berkait erat dengan masalah moral, etika dan kedalaman penghayatan terhadap ajaran-ajaran baik dan buruk, kedalaman kita terhadap penghayatan nilai-nilai agama yang kita anut dan jalankan, kedalaman pemahaman kita terhadap setiap aturan main yang telah dibangun bersama, kedalaman kita dalam melihat perspektif masa depan yang telah dirumuskan sebagai visi dan misi lembaga pendidikan.
Dengan demikian ada sejenis code of conduct yang menjadi ‘harga mati’ yang tidak boleh dilanggar oleh semua anggota civitas akademika. Jika terjadi pelanggaran terhadap code of conduct ini, maka tanpa ampun orang yang melanggar itu diberi sangsi, hukuman dan jika diperlukan diambil jarak yang tegas dengan mengeluarkannya dari lingkungan lembaga. Di dalam bahasa manajemen, etika semacam itu adalah etika kerja yang harus dipunyai oleh setiap orang yang ada dan beraktivitas di dalam lembaga. Etika kerja seperti itu merupakan sistem nilai yang dianut oleh lembaga pendidikan dalam rangka melakukan hubungan-hubungan atau interaksi---baik yang berkaitan dengan aktivitas internal kampus atau lembaga, maupun dengan aktivitas bersangkut dengan luar kampus atau lembaga.
Menurut pengamatan saya, dalam mengelola lembaga pendidikan, ada beberapa etika kerja yang harus dikembangkan sebagai sebuah kapasitas yang melekat kepada setiap individu yang ada di dalam lembaga itu.
Pertama adalah sikap para staf (karyawan, dosen, guru, tenaga teknis lainnya). Para staf harus ditingkatkan kapasitasnya di dalam menaati segala peraturan atau regulasi-regulasi yang telah ditetapkan. Para staf itu seharusnya dapat mengembangkan potensinya untuk kepentingan kemajuan lembaga, karena para staf turut serta menciptakan dan mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif. Mereka harus membangun budaya kerja yang baik.
Kedua juga masih berkaitan dengan sikap para staf, terutama para staf yang mempunyai atau diberi wewenang dan jabatan di dalam lembaga pendidikan tinggi. Mereka itu harus dapat ditingkatkan kemampuan dan kapasitasnya agar dapat menggunakan ‘wewenang dan jabatannya itu’ untuk kepentingan pengembangan lembaga pendidikan. Mereka harus dapat menggunakan segala fasilitas yang tersedia untuk sebesar-besarnya kepentingan lembaga. Karena mereka juga harus menjaga nama baik lembaga.
Ketiga berkaitan dengan hubungan antara atasan dan bawahan. Interaksi antara ‘atasan’ dan ‘bawahan’ juga banyak mewarnai kapasitas dan kinerja lembaga pendidikan. Interaksi antara atasan dan bawahan yang kurang baik tidak dapat menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi. Kapasitas masing-masing individu dalam kerangka atasan dan bawahan ini juga akan tampil di dalam kinerja pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu, interaksi yang tulus dan beritikad baik, saling menerima dan menghargai akan banyak membantu bagi terbangunnya potensi-potensi tersembunyi. Potensi seperti ini besar kemungkinan akan menjadi sumber kekuatan bagi peningkatan kinerja lembaga pendidikan tinggi. Etika
keempat berhubungan dengan interaksi diantara sesama staf. Seringkali saya menemukan bahwa salah satu masalah yang paling krusial dipecahkan adalah bersoalan hubungan-hubungan diantara para staf. Banyak kerugian yang diderita oleh sebuah lembaga disebabkan energi dan perhatiannya terganggu oleh ulah atau prilaku interaksi sesama staf yang berdampak kepada institusi. Oleh sebab itu, jenis interaksi di antara para staf yang harus dikembangkan adalah kebersediaan setiap orang, setiap staf untuk saling menghargai, mendorong semangat, membina kerjasama dalam penyelesaian tugas dan tanggung jawab. Kebersediaan ini akan lebih berdaya guna apabila dibarengi dengan integritas yang tinggi, keterbukaan dengan membangun interaksi dalam ikatan harmonis sebagai bagian penting dari lembaga tempat mereka mengabdikan dirinya.
Pertanyaan selanjutnya yang bisa kita ajukan, berhubungan dengan implikasi langsung dari pentingnya etika kerja seperti di atas, adalah bahwa apa yang hendak dicapai dengan peningkatan kapasitas etika kerja orang-orang yang terlibat di dalam lembaga? Menurut pandangan saya, terdapat kebutuhan yang sangat besar—apalagi pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang baru tumbuh dan berada di lini kedua atau ketiga di dalam struktur peta lembaga pendidikan tinggi di tanah air---untuk memperbaharui dan meningkatkan komitmen dalam pelaksanaan pendidikan. Kita acapkali menemukan bahwa komitmen anggota civitas akademika tentang masa depan lembaga pendidikanya sangat rendah. Bahkan, karena ketiadaan atau kerendahan komitmen ini, banyak lembaga pendidikan dikelola secara serampangan. Mereka cenderung berpuas hati dengan apa yang telah dicapai sekarang ini. Mereka membanggakan diri bahwa apa yang telah dicapai ini merupakan prestasi yang cukup gemilang. Mereka menganggap bahwa keadaan ini menjadi puncak pencapaian prestasi. Anggapan-anggapan seperti itu sungguh keliru, bahkan menyesatkan. Mereka harus tetap berada dalam ‘keadaan waspada’. Pencapaian-pencapaian ini sebenarnya justru harus dijadikan momen penting untuk memotivasi diri dan ‘challenge’ bagi pencapaian target yang lebih optimal.
Cara yang paling baik, menurut hemat saya, adalah dengan meningkatkan kapasitas via pemberdayaan dan pengembangan staf untuk dapat bekerja lebih gigih, semangat dan mempunyai motivasi yang tinggi untuk maju. Kerjasama tim harus dikembangkan. Sinergi antara aspek kepemimpinan dengan keahlian teknis menjadi salah satu kunci pokok untuk mempertahankan prestasi lembaga. Sinergi seperti itu sangat fundamental, karena ia akan berfungsi sebagai penopang kukuh reputasi yang telah dicapai. Tanpa sinergi yang baik antara semua komponen stakeholder, reputasi yang telah dicapai selama ini, dan kemudian ‘digadang-gadangkan’ dengan gegap gempita akan meluncur terjun sampai titik terendah. Jika itu yang terjadi, maka malapetaka yang akan dihadapi. Kapasitas setiap individu untuk mempertahankan reputasi merupakan kemampuan dan talenta yang harus dimiliki. Ia tidak bersifat jangka pendek, tetapi ia akan memberi garansi tentang pendek atau panjangnya eksistensi lembaga pendidikan tinggi itu.
Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)
Posting Komentar untuk "Urgensi Keteladanan, Etika dan Talenta di Perguruan Tinggi"