Paradox Pendidikan
Sobat dunia kampus, perubahan yang amat besar pada teknologi kumputer atau handphone ‘memaksa’ terjadinya perubahan fundamental terhadap cara kerja lembaga-lembaga pendidikan. Kalau pada tahun 2003, kita dapat melakukan konferensi video dengan layar penuh, ‘full motion’, melalui desktop yang dimiliki setiap orang dengan menggunakan internet secara gratis, maka komunikasi tatap muka langsung akan menjadi ‘tambah mempesonakan’. Jika orang ingin berkomunikasi tatap muka, maka keluarga-keluarga cukup ‘berdiam diri’ di rumah, tidak perlu keluar rumah. Mereka cukup membuka komputer atau telepon bimbit dan melakukan tatap muka langsung dengan medium layar computer atau teleponnya.
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay |
Mereka berkomunikasi dengan bahasa masing-masing. Orang yang bertempat tinggal di suatu negara yang satu menyampaikan pesan melalui penggunaan bahasa ibunya atau komunitasnya (bahasa nasionalnya), sementara orang yang bermukim diujung negara yang lain menerima pesan di dalam bahasa ibunya atau komunitasnya (nasionalnya) juga. Percakapan mereka yang ‘face-to-face’ via layar komputer atau telepon bimbit itu tidak memerlukan penggunaan bahasa asing diluar bahasa nasionalnya, tetapi pesan dari percakapan tersebut dapat diterima di dalam bahasa orang lain yang menjadi lawan bicaranya.
Coba kita bayangkan dengan seksama. Jika perubahan ini terjadi dengan cepat, apa yang akan terjadi di dalam bisnis penerbangan? Apa yang akan terjadi pada ‘bisnis’ pendidikan? Apa yang akan terjadi pada hubungan kerja lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan? Apa yang akan terjadi pada cara kerja lembaga-lembaga pendidikan? Apa yang akan terjadi pada perubahan keterampilan individu? Apa yang akan terjadi pada misi lembaga pendidikan?
Salah satu yang mungkin melanda kehidupan masyarakat kita adalah terjadinya perasaan bahwa orang yang selama ini ‘menguasai bahasa asing’ akan merasa ‘incompetent’, karena bahasa itu tidak diperlukan lagi. Orang dapat berkomunikasi dan saling mengerti, saling memahami satu sama lain, tanpa harus menguasai bahasa asing atau bahasa orang lain. Masing-masing orang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibunya, tanpa kendala bahwa yang satu mengerti atau tidak. Sebab antara bahasa-bahasa itu telah diterjemahkan secara instant, dan dapat dimengerti oleh lawan bicara di dalam bahasa ibu atau nasionalnya. Dengan demikian, bisa jadi akan banyak perubahan, karena ‘incompetent’ harus dikembalikan kepada perasaan biasa.
Mungkin, ada baiknya kita berhenti sejenak dari kehidupan hiruk pikuk perdebatan penyelenggaraan pendidikan yang penuh dengan akal-akalan. Ada baiknya, kita kemudian, merenungkan, meluangkan sedikit waktu, untuk memperhatikan kecenderungan perubahan masa depan. Dengan itu, kita kemudian bisa bekerja dengan ‘future in mind’. Kita harus mengambil peduli yang lebih obyektif untuk menentukan dan merumuskan bagaimana fungsi-fungsi lembaga pendidikan kita di masa depan seperti yang telah digambarkan di atas. Dengan demikian, kita dapat membangun tahap-tahap kebijakan pendidikan yang mengantisipasi sukses tidaknya kita menghadapi masa depan.
Saya melihat, selama ini, perhatian kita terhadap seting masa depan kurang berkembang. Kita sangat aktif bekerja, merumuskan kebijakan kita, hanya untuk mengantisipasi praktik kehidupan yang dialami masyarakat masa kini. Kita sering kali membuat kebijakan pendidikan kita yang reaktif terhadap persaoalan-persoalan masa kini yang acapkali tak banyak hubungannya dengan masa depan atau masa lalu. Akibatnya, paradigma kebijakan politik pendidikan kita masih berada di dalam situasi lama (old paradigms). Kebijakan politik pendidikan kita jarang sekali yang mengacu dan memberi tanggung jawab terhadap perkembangan masa depan. Kita memerlukan paradigma baru dalam kebijakan politik pendidikan kita yang memberi atau membuka inspirasi serta visi baru. Taruhlah ia merupakan ‘mimpi dan cita-cita’ masa depan masyarakat kita, sehingga kita dapat mengusung mimpi itu dalam kekuatan mewujudkan mutu manusia Indonesia yang dicita-citakan. ‘if we do not dream, we have no power to act’. ‘Mimpi itu’ ,tampaknya, kurang mengemuka di dalam praktik politik pendidikan kita di tanah air. Kita lebih senang dan suka berkutat pada ‘hal-hal lama’, berputar-putar disekitar itu saja. Mungkin kita lebih mengamini pepatah lama ‘if you fail to plan, you plan to fail’.
Bisakah kita ‘membendung’ perubahan pola pembelajaran yang menjadi konsekuensi dari ‘instantaneous international translation’ seperti yang digambarkan di atas? Proses belajar mengajar di kelas menjadi bagian yang dipandang usang. Tatap muka antara pengajar dan pelajar seperti yang sekarang dilaksanakan di dalam penyelenggaraan pendidikan kita akan mengalami proses penuaan, kalau tidak kita katakan sebagai sesuatu yang usang. Hubungan tenaga pengajar dan pelajar cukup dilakukan dari rumah, sekalipun interaksi itu terjadi antara tenaga pengajar asing yang memberi pengajaran bagi pelajar kita di Indonesia. Mereka dapat berdialog, berdiskusi dan membahas berbagai topik keilmuan dengan tatap muka, menggunakan bahasa masing-masing, diterima, dimengerti serta dipahami dengan bahasa masing-masing.
Bentuk lembaga pendidikan kita akan mengalami perubahan spektakuler. Penataan institusi kelembagaan juga akan mengalami perubahan, dimana setiap orang bisa saja terdaftar menjadi murid atau mahasiswa sekolah luar negeri, tanpa harus pergi keluar negeri. Jika demikian adanya, bagaimana fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga pendidikan kita pada hampir semua jenis dan tingkat pendidikan. Kompetisi penyelenggaraan pendidikan tidak lagi bersifat real, konkrit. Tetapi, kompetisi penyelenggaraan pendidikan cenderung bersifat ‘virtual’. Setiap lembaga pendidikan dapat langsung melakukan intervensi penyelenggaraan pendidikan di negara lain, tanpa direcoki dengan berbagai birokrasi dan regulasi pemerintah yang rigit. Sementara itu, setiap orang dapat mengakases lembaga pendidikan dengan murah, bermutu, dan dengan pelayanan yang prima. Orang cukup mengikuti proses belajar mengajar atau perkuliahan dari rumah saja, tanpa harus hadir secara fisik di kelas, di ruang-ruang pertemuan.
Kita dihadapkan kepada ‘e-education’, yang tidak mempersyaratkan berbagai urusan administrative. Kita akan melupakan penilaian akademik yang kemudian dikonversi dengan penilaian admnistratif sebagaimana yang sering kita saksikan di dalam praktik penyelenggaraan pendidikan kita. Semua hal itu kita tidak butuhkan lagi. Yang diperlukan adalah menyiapkan insfrastruktur minimal yang dapat diakses oleh setiap masyarakat agar mereka dapat belajar, berdiskusi, berdialog dengan menggunakan teknologi modern seperti komputer, telepon bimbit (handphone) dan sebagainya. Penilaian mutu pendidikan dilakukan dengan lintas acuan, bahkan ‘masyarakat virtual’ yang akan menentukan apakah seseorang yang mengikuti suatu proses pendidikan itu akan dinyatakan lulus atau tidak lulus, memiliki kualifikasi atau tidak memiliki kualifikasi. Pengakuan kompetensi seorang individu tidak lagi dinyatakan oleh para pemegang otoritas administrative.
Lantas, bagaimana kita harus menyikapi perubahan masa depan itu? Apakah kebijakan pendidikan kita selama ini telah mempertimbangkan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat ‘e-education’ seperti di atas? Mungkinkah kita memerlukan regulasi baru, yang sama sekali berbeda dengan regulasi pendidikan yang selama ini kita kenal? Apakah dampak yang signifikan dengan program sertifikasi dosen dan guru, misalnya? Apakah hal semacam itu masih diperlukan untuk masa depan? Sebatas mana kebijakan-kebijakan semacam itu dapat diberlakukan? Dan sebatas mana kebijakan sejenis itu bisa kita pertahankan, jikalau masa depan yang kita akan hadapi menegasikan keperluan kebijakan-kebijakan administrative seperti itu? Apakah ujian nasional masih diperlukan, jika penilaian mutu hasil pendidikan dilakukan oleh ‘virtual society’?
Saya kira, masih banyak lagi pertanyaan problematik yang dapat kita ajukan kepada setiap kebijakan politik pendidikan kita di tanah air. Contoh ‘perubahan seting masa depan’ yang digambarkan di dalam tulisan ini merupakan salah satu ‘gugatan’ penting kepada kebijakan nasional pendidikan kita, yang seringkali tampak kurang antisipatif terhadap masa depan. Mungkin para pemegang otoritas kebijakan pendidikan kita memerlukan ‘jeda’ sebentar untuk mulai kembali memetakan perubahan-perubahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Setelah itu, mulai membenahi fokus kebijakan pendidikan itu agar sejalan dengan tuntutan aspirasi masyarakat dan perubahan jaman. Itulah salah satu paradox di dalam kebijakan politik pendidikan kita Wallahualam.
Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)
Posting Komentar untuk "Paradox Pendidikan"