Azas Pendidikan: Antara Pancasila dan Liberalisme
Ketika gelombang protes dan demonstrasi penolakan rancangan undang-undang tentang badan hukum pendidikan berlangsung pada satu tahun terakhir, terdapat fenomena menarik yang dialami oleh perguruan tinggi kita di tanah air. Fenomena ini nyaris tidak memperoleh perhatian pemerhati pendidikan, pemerintah, dan bahkan masyarakat luas.
Beberapa perguruan tinggi swasta di tanah air, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Makasar mengalami ‘krisis intake’. Banyak perguruan tinggi swasta yang mengalami kekurangan calon mahasiswa, bahkan terdapat banyak perguruan tinggi swasta yang hampir-hampir tidak memperoleh calon mahasiswa. Para calon mahasiswa tidak mendaftarkan diri kepada perguruan tinggi swasta, sehingga beberapa perguruan tinggi swasta itu mengeluh, karena pada tahun ini mengalami defisit calon mahasiswa.
Keluhan menjadi dramatik, ketika ada perguruan tinggi yang hanya memperoleh calon mahasiswa berjumlah puluhan orang. Pada tahun-tahun sebelumnya, para calon mahasiswa itu, cukup banyak mendaftarkan diri kepada institusi perguruan tinggi swasta, tetapi sejak ‘diberlakukannya kebijakan kompetisi terbuka’ terhadap rekrutmen calon mahasiswa, baik antara perguruan tinggi swasta dengan perguruan tinggi negeri, maka telah terjadi eksodus besar-besaran, dimana para calon mahasiswa lebih memilih mendaftarkan diri di universitas atau perguruan tinggi negeri dibandingkan dengan mendaftarkan diri pada perguruan tinggi swasta.
Para pimpinan perguruan tinggi swasta, yang tergabung di dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta, mengajukan protes terhadap kebijakan itu, baik kepada pemerintah, maupun kepada perguruan tinggi negeri. Mereka menyatakan bahwa kebijakan diberlakukannya kompetisi terbuka (liberalisasi penyelenggaraan pendidikan) menyebabkan institusi-institusi pendidikan tinggi swasta mengalami situasi ‘mati segan, hiduppun tak mampu’. Lembaga pendidikan tinggi swasta selama ini hidup dan berkembang dari perputaran pendanaan pendidikan yang datang dari banyaknya jumlah mahasiswa. Semua operasional penyelenggaraan pendidikan dibiayai dari hasil ‘pungutan biaya’ yang berasal dari calon mahasiswa. Jika calon mahasiswanya berkurang atau tidak ada, maka yang terjadi kemudian adalah lembaga-lembaga itu mengalami kesulitan di dalam membiayai operasional penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, pemerintah dipandang melakukan kebijakan yang diskriminatif terhadap perguruan tinggi swasta. Pemerintah terlalu memberi angin, baik dalam hal pembiayaan, maupun dalam hal perlakuan bantuan, kepada lembaga-lembaga pendidikan tinggi negeri.
Kebijakan kompetisi bebas yang dilansir pemerintah dipandang sebagai keliru, karena tidak didasarkan kepada ‘starting point’ yang sama. Selama ini, pemerintah sangat berpihak kepada perguruan tinggi negeri, dan pemerintah sangat kurang perhatian kepeda perguruan tinggi swasta. Tiba-tiba, dalam hal rekrutmen, seleksi mahasiswa baru, dibuka kompetisi yang membenarkan perguruan tinggi menambah jumlah daya tampung mahasiswanya melalui pengembangan program paralel, kelas sore, kelas non-reguler dan sebagainya. Dengan dibukanya program semacam itu di perguruan tinggi negeri, maka para calon mahasiswa lebih memilih perguruan tinggi negeri ketimbang perguruan tinggi swasta, apalagi jika perguruan tinggi swasta itu belum kuat atau sedang dirundung masalah konflik internal.
Kondisi seperti itu, memicu bergugurannya lembaga-lembaga pendididikan tinggi swasta. Mereka mengalami krisis keuangan, krisis pembiayaan, serta tidak mampu lagi mengoperasikan lembaganya untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi. Apalagi untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu.
Situasi yang dialami oleh perguruan tinggi swasta tersebut mengalami anti-klimak, ketika pemerintah melansir penegasan liberalisasi penyelenggaraan pendidikan lewat rancangan undang-undang badan hukum pendidikan. Kontroversipun tidak dapat dihindari. Para pimpinan perguruan tinggi swasta, untuk sebagian besar, bersama-sama menolak kebijakan semacam itu. Mereka melihat bahwa kebijakan itu, memang, diarahkan untuk ‘menutup’ lembaga pendidikan tinggi swasta yang selama ini dipandang sebagai ‘gurem’. Bahkan kebijakan badan hukum pendidikan itu dilihat sebagai upaya pemerintah untuk ‘menghapus jejak sejarah’ pendirian perguruan tinggi swasta, yang selama perjalanannya, perguruan tinggi swasta didirikan atas dasar pertimbangan sebagai alat perjuangan organisasi, perserikatan, atau bahkan paguyuban keagamaan.
Atas nama liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, pemerintah dipandang berkehendak mengatur segala hal yang berkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta, sekaligus juga ‘ingin mengontrol’ dan masuk kepada roh sejarah dari perguruan tinggi swasta. Padahal, selama ini, pemerintah dianggap sebagai lembaga yang tidak terlalu peduli dengan pendidikan swasta. Mengapa kemudian, pemerintah begitu bersemangat untuk mengatur lebih jauh lembaga pendidikan swsata? Bukankah keterlibatan pemerintah yang jauh itu bertentangan atau kontradiksi dengan paham liberalisme pendidikan itu sendiri? Muncul kemudian pertanyaan politik, ada agenda apa dibalik peluncuran rancangan undang-undang badan hukum pendidikan tersebut?
Berbagai interpretasi berkembang di dalam masyarakat. Kasak kusuk menelusuri agenda dibalik rancangan undang-undang itu masih berlangsung sampai saat ini. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tampaknya tetap berjalan dengan skenarionya masing-masing. Partai politik, kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan menitipkan berbagai ‘pesan’ di dalam rancangan undang-undang tersebut. Kepentingan kelompok yang disertai ‘ideologinya’ menjadi sangat dominan. Kepentingan masa depan pendidikan menjadi sumir dan kurang jelas arahnya. Ideologi bangsa dan negara yang kita anut juga semakin berwarna abu-abu. Muncul kemudian pertanyaan pokok, masihkah Indonesia ini merupakan Negara Pancasila? Atau Negara Indonesia ini sudah berazas dan berideologi liberal? Dimana letak falsafah negara Pancasila itu? Apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berazaskan pancasila yang menganut faham liberal? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sekarang ini, berkembang di tingkat ‘potensial’ seperti bara dalam sekam yang menunggu momen untuk muncul kepermukaan..
Lantas apa yang akan menjadi ukuran-ukuran penyelenggaraan pendidikan (tinggi) di Indonesia agar ia dapat dibedakan dengan pendidikan tinggi yang tersebar di seantero dunia? Kita, memang, memerlukan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan kita. Kita juga menghendaki peningkatan mutu lulusan, mutu layanan pendidikan kita. Kita juga mempunyai cita-cita agar lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita memiliki reputasi berkelas dunia. Kita juga ingin sekali bahwa lulusan perguruan tinggi kita dapat berkompetisi di pasar kerja internasional. Kita juga berharap bahwa lembaga pendidikan tinggi kita dapat bertindak sebagai lokomotif perubahan atau pembangunan kesejahteraan masyarakat. Kita juga ingin melihat bahwa lembaga pendidikan tinggi kita dikelola dengan sangat professional, berstandar internasional, bermutu dan diakui sebagai perguruan tinggi yang bermartabat. Masalahnya adalah apakah insfrastruktur minimal kearah cita-cita seperti itu telah kita persiapkan dengan terencana, berkomitmen tinggi, khususnya oleh pemerintahn kita? Apakah kita harus menjadi ‘liberal sekali’ untuk bisa memenuhi harapan-harapan di atas? Atau mungkin kita harus agak serius ‘mencari jalan’ yang bisa mendamaikan komitmen kukuh kita sebagai bangsa kepada Pancasila dengan gempuran arus liberalisme (pendidikan) yang sedang melanda kehidupan dunia internasional?
Saya kira, yang diperlukan oleh kita adalah bagaimana mentranformasikan lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita, yang selama ini dirasakan kurang berkinerja baik, menjadi lembaga yang bermutu, memiliki kultur akademik yang kuat, memiliki tradisi pengelolaan dan layanan yang prima, mempunyai insfrastruktur yang baik, dengan tetap berdiri tegak sebagai lembaga pendidikan yang menjaga peradabanbangsa. Perguruan tinggi yang demikian itu, adalah merupakan perguruan tinggi yang mampu hidup berdampingan secara kreatif dengan kehidupan liberal, tanpa harus mengubah diri menjadi lembaga pendidikan tinggi liberal sepenuhnya. Mungkinkah hal itu bisa didamaikan di dalam rancangan undang-undang badan hukum pendidikan yang sekarang masih dalam pembahasan? Wallahualam.
Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)
Posting Komentar untuk "Azas Pendidikan: Antara Pancasila dan Liberalisme"