Strategi Transformasi Pendidikan Bisnis
Pendidikan bisnis secara epistimologi adalah kegiatan pendidikan yang diarahkan pada studi dan riset di bidang bisnis. Pada jenjang pendidikan tinggi, capaian pembelajaran dari pendidikan bisnis dimaksudkan untuk menyiapkan para mahasiswa agar mampu mempraktekkan apa yang dipelajari dalam pekerjaan yang dilakoninya di masa mendatang dalam bidang bisnis ataupun bidang yang berkaitan dengan bisnis. Profil lulusan dari pendidikan bisnis adalah bekerja di perusahaan ataupun instansi pemerintah dengan jenjang supervisor dan manajer atau menjadi entrepreneur. Artikel kali ini mengupas tentang strategi transformasi pendidikan bisnis di era disrupsi.
The Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB) menetapkan standar kriteria pendidikan bisnis sebagai berikut: Pada program sarjana (Bachelor), 25 persen atau lebih pengajaran terkait dengan mata kuliah bisnis tradisional, sedangkan pada Program Pascasarjana (Postgraduate), 50 persen atau lebih dari pengajaran berkaitan dengan mata kuliah bisnis tradisional, dianggap sebagai program gelar bisnis. Mata kuliah bisnis tradisional meliputi akuntansi, hukum bisnis, ilmu keputusan, ekonomi, kewirausahaan, keuangan (termasuk asuransi, real estate, dan perbankan), sumber daya manusia, bisnis internasional, manajemen, sistem informasi manajemen, ilmu manajemen, pemasaran, manajemen operasi, perilaku organisasi, pengembangan organisasi, manajemen strategis, manajemen rantai pasokan (termasuk transportasi dan logistik), dan manajemen teknologi (Beck-Dudley, 2019).
Pendidikan bisnis harus berubah dalam mengantisipasi era disrupsi. Perubahan peran pendidikan bisnis sangatlah strategis dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi sekaligus memiliki sikap etis dalam berbisnis. Perubahan dalam kurikulum, isi dan metode pembelajaran, pengembangan kemampuan berfikir kritis dan etis serta peningkatan kerjasama pendidikan bisnis dengan dunia industri mutlak harus dilakukan oleh pendidikan bisnis agar lulusan yang dihasilkan relevan dan mampu mensinkronisasi praktik bisnis dengan revolusi industri 4.0 yang berjalan saat ini. Profil lulusan harus mumpuni dalam 4 kompetensi, yaitu; i) memahami lanskap bisnis baru yang kompleks dan penuh dengan ketidakpastian, ii) membangun desain bisnis yang inovatif dan relevan untuk menjawab persoalan yang dihadapi, iii) merancang pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan, dan iv) mengelola siklus bisnis, di mana ada masa tertentu yang mengharuskan semua proses itu berulang kembali (SWA, 2015)
Di
era disrupsi telah terjadi pergeseran tuntutan skill dari lulusan perguruan
tinggi yang diperlukan oleh industri. Menurut catatan World Economic Forum
(2016), terdapat lima skills yang
pertumbuhan permintaannya akan paling tinggi berdasarkan beberapa sektor
industri, di mana sebelumnya sektor tersebut tidak banyak membutuhkannya.
Kelima skills tersebut adalah Cognitive Abilities (52%), System Skills (42%), Complex Problem Solving (40%), Content Skills (40%), dan Process Skills (39%).
Akibat
perubahan tuntutan skills sumberdaya manusia di berbagai industri saat ini,
pendidikan bisnis pun mulai melakukan perubahan. Chachoua (2015) mengatakan
bahwa sama halnya dengan sektor pendidikan lainnya, sekolah bisnis juga
berupaya keras mengantisipasi derasnya perkembangan teknologi – dari
konektifitas hingga kecerdasan buatan – yang mentransformasi baik ekonomi
maupun cara kita belajar. Selanjutnya menurut Chachoua pendidikan bisnis, tampaknya, berada di ambang
restrukturisasi. Ini bukan pertama kalinya - dua reformasi besar telah terjadi
- dan itu tidak akan menjadi yang terakhir. Tetapi dengan perkembangan
teknologi yang cepat yang mempengaruhi ekonomi dan pendidikan, perubahan harus dilakukan
dengan cepat jika pendidikan bisnis ingin tetap relevan dengan tuntutan
industri.
Beberapa
strategi dan kebijakan yang perlu diperhatikan penyelenggara pendidikan bisnis agar
mampu beradaptasi di era revolusi industri 4.0 mencakup; Pertama,
penyelenggara pendidikan bisnis harus menetapkan strategi pengembangan program
studi dengan jelas. Hingga saat ini, terdapat dua model penyelenggaraan
pendidikan bisnis; konvensional (program studi ekonomi, manajemen dan
akuntansi) dan pembaharuan (program studi bisnis digital). Pada model
konvensional, program studi tradisional tetap dipertahankan dengan memberikan
sentuhan utilisasi teknologi digital pada setiap mata kuliah yang ditawarkan.
Strategi ini menuntut kesiapan tenaga pendidik dan infratruktur teknologi
informasi yang memadai. Sedangkan pada model pembaharuan, beberapa Fakultas
Ekonomi dan Bisnis menginisiasi pembukaan program studi bisnis digital, seperti
FEB UNPAD, UPI, Unimed, dan Universitas Mercu Buana. Struktur kurikulum pada
program studi ini merupakan gabungan ilmu akuntansi, ilmu manajemen, ilmu
ekonomi, dan ilmu data (data sciences). Kendala pada model pembaharuan
adalah sulitnya mendapatkan ijin pembukaan program studi teresebut. Oleh
karenanya, dukungan pemerintah dalam bentuk keluwesan peraturan menjadi kunci
sukses tranformasi pendidikan bisnis.
Kedua, merestrukturasi
kurikulum pendidikan bisnis. Tuntutan pasar dewasa ini cenderung pada lulusan
yang bersifat generalis, bukan spesialis. Sementara profil lulusan di dalam
kurikulum harus dirumuskan dengan spesifik. Oleh karena itu, kurikulum
pendidikan bisnis sebagai acuan dan rujukan dalam penyelenggaraan proses
belajar mengajar jelas harus senantiasa diperbaharui, agar tidak ketinggalan
dengan kebutuhan pasar (Hartomo, 2018). Pembaharuan
kurikulum
ditujukan untuk memberikan kemampuan manajemen yang handal dalam menjawab
persoalan bisnis dan mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan di dalam
lanskap bisnis yang berubah. Mahasiswa yang akan menjadi pemimpin bisnis tidak
lagi menjalankan bisnis sebagaimana biasanya, melainkan membangun bisnis
berbasis inovasi dan mendorong kolaborasi multidisipliner, serta menciptakan
desain bisnis yang semakin relevan untuk mendukung kinerja prima perusahaan.
Schwab (2016) mengingatkan bahwa untuk dapat mengantisipasi revolusi industri
4.0, setiap individu harus dibekali 4 kompetensi kecerdasan (intelligence);
kontekstual (the mind), emosional (the heart), inspired (the
soul), dan fisik (the body).
Ketiga, terkait pengembangan dan pengayaan isi pembelajaran. Isi pembelajaran harus perlu terus diadaptasikan dengan perkembangan dan perubahan yang ada. Kebermaknaan pembelajaran harus tercapai. Bahan kajian mungkin saja tetap tidak berubah, namun fokus penekanan dalam perkuliahan harus berubah. Penggunaan big data yang tengah terjadi di lapangan serta coding perlu diajarkan di kelas-kelas bisnis agar mampu mensinkronkan kemajuan teknologi dengan ilmu yang diperoleh oleh para mahasiswa (Hartomo, 2018). Selain itu, Pendidikan bisnis harus mulai menerapkan sistem pembelajaran hibrid atau blended learning online dan Massive Open Online Courses (MOOCs). Dengan demikian pengayaan materi pembelajaran tidak terbatas ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan argumen Mihnea Moldoveanu & Das Narayandas (2019) yang menyatakan bahwa digitalisasi pembelajaran bisnis membuat lebih mudah dan efisien. Sebagai contoh, pengajaran dalam kelas dapat direkam dan dilihat secara online oleh peserta didik secara menyenangkan. Forum dan grup diskusi untuk mendalami pemahaman tentang konsep-konsep perkuliahan dapat dilakukan secara online dengan melibatkan banyak peserta didik tanpa hambatan dan berbiaya murah melalui aplikasi seperti Zoom, Skype, and Google Hangouts. Peserta didik dari kalangan genereasi milenial sudah terbiasa berinteraksi berbasis, tatap muka secara fisik di kampus semakin berkurang. Selain itu, karena komponen yang terpisah dari program pendidikan berbasis online — kuliah individu, studi kasus, dan sebagainya — dapat dihargai dan dijual secara mandiri.
Keempat, peningkatan kemitraan antar pendidikan bisnis dengan dunia industri. Kritik terhadap pendidikan tinggi di Indonesia selama ini adalah ketidaksiapan lulusan bekerja di industri. Implementasi konsep link and match masih jauh dari harapan. Fenomena yang terjadi saat ini adalah perubahan yang sangat cepat di dunia kerja. Para pengguna lulusan menuntut penyelenggara pendidikan bisnis mencermati perkembangan teknologi informasi dan pasar. Peningkatan kemitraan dengan dunia industri menjadi penting. Kemitraan akademik antar penyelenggara pendidikan bisnis dengan dunia industri harus lebih diintensifkan. Penelitian-penelitian terapan dalam bisnis yang melibatkan mahasiswa untuk penyusunan skripsi, tesis dan disertasinya, dan diperkuat dengan praktik kerja langsung atau magang di dunia industri akan memperkuat kerjasama antara kampus dan dunia industri. Program magang (internship) yang selama ini hanya dilaksanakan 1 (satu) – 2 (dua) bulan seharus diperpanjang minimal 3 (tiga) bulan. Program magang bersertifikat di BUMN selama 6 bulan yang telah dirintis sejak 2017, misalnya perlu terus dikembangkan. Artikel “How Business Schools compete in a distrupted market” di Financial times (June 3, 2019) memperkuat pentingnya partnership dengan pihak ekternal/ kalangan industri. Pendidikan bisnis yang menawarkan program perkuliahan yang relevan dengan ekonomi digital dapat bertahan dan berkembang dengan pesat.
Kelima, peningkatan
kualitas kemampuan berpikir kritis dan kompleks bagi para mahasiswa pendidikan
bisnis. Institusi pendidikan bisnis harus mampu membangun kemampuan berpikir critical
analysis mahasiswa. Tujuannya agar mahasiswa sekolah bisnis mampu merespons
derasnya informasi di era teknologi serta memiliki ketrampilan untuk memilah
dan juga mengkritisi keakuratan informasi (data dan digital literacy).
Jika selama
ini mahasiswa diarahkan untuk merencanakan strategi bisnis berdasarkan prediksi
masa depan dengan tingkat ketepatan tinggi, kini hal itu tak bisa lagi
dilakukan karena mempertimbangkan meningkatnya ketidakpastian dan kompleksitas
bisnis. Sebagai gantinya, mereka diarahkan untuk mampu mengidentifikasi
berbagai alternatif yang bisa terjadi, seraya merancang bisnis yang inovatif
dan fleksibel dalam menghadapi kondisi tersebut. Peserta didik perlu dibekali
softskills lainnya yang tidak terakomodasi dalam kurikulum pembelajaran.
Kebijakan Kemenristekdikti terkait Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI)
untuk melegalisasi pengayaan softskills yang telah diperoleh peserta didik
dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah lulusan.
Keenam, perubahan metode pembelajaran. Peran tenaga pendidik pada sekolah bisnis harus beralih dari sekedar mentransfer pengetahuan menjadi seorang fasilitator dalam diskusi, praktisi dalam bisnis yang kaya dengan pengalaman, serta mampu menjadi pengarah nilai/pengawal etika dalam berbisnis (attitude). Selama ini karakter etis dan sikap moral dalam berbisnis masih sangat diperlukan agar mahasiswa tidak terseret perilaku bisnis yang semata berorientasi pada maksimalisasi profit dan mengesampingkan aspek etis dalam bisnis. Tenaga pendidik dapat berperan dengan baik di sini, apabila memiliki pengalaman yang kaya, mampu mengembangkan kemutahiran studi kasus yang berbasis data lapangan sebagai bahan diskusi, mampu mengkritisi praktik dalam dunia bisnis dari sisi etika. Pengakuan terhadap pengalaman kerja di lapangan, dan juga kemampuan atau ketrampilan yang diperoleh lewat kursus singkat yang bersertifikasi, memberi peluang pada pendidikan bisnis untuk menambahkan program sertifikasi yang relevan bagi para mahasiswanya selain pendidikan formal yang diberikan (Hartomo, 2018). Penggunaan metode pembelajaran eksperimen patut menjadi perhatian para pendidik. Pereira (2019) menyarankan penggunaan beragam metode experiential learning atau action learning, seperti immersive work experiences, multiple required projects, and sequenced residencies. Metode-metode tersebut berbasis teori pembelajaran. Integrasi teori pembelajaran menjamin tercapainya learning outcome pendidikan bisnis yang berbeda.
Ketujuh, membangun atmosfir akademik berorientasi kewirausahaan melalui penciptaan entrepreneurial university sebagai bagian dari hidden curriculum. Hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan dan program yang pro iklim kewirausahaan di universitas. Dengan memperhatikan beberapa aspek yang diadaptasi dari Clark (2004), kampus harus membangun; 1) Kepemimpinan yang kuat (steering core) pada semua aras organisasi, 2) Pengembangan jejaring kerjasama (expanded developmental pheripery) dengan beragam pengampu kepentingan, 3) Melakukan diversifikasi sumber pendanaan universitas (diversified funding base), 4) Penguatan bisnis inti berbasis akademik (stimulated academic heartland), dan 5) Internalisasi budaya kewirausahaan (integrated entrepreneurial culture). Jika kelima komponen entrepreneurial university dilaksanakan secara konsisten, maka eko-sistem kewirausahaan dapat direalisasikan secara nyata. Dengan demikian, pendidikan bisnis yang diselenggarakan baik melalui kurikulum maupun kegiatan di luar kurikulum diharapkan tidak hanya meningkatkan intensi mahasiswa dalam berwirausaha, tetapi juga membangun karakter, serta membentuk perilaku berwirausaha lulusan. Luaran pendidikan bisnis mencakup wirausaha bisnis, wirausaha sosial dan intrapreneur. Perlu disadari bahwa peserta didik berasal dari generasi milenial. Intensi berwirausaha kelompok ini sangat tinggi. Hal ini tercermin dari tumbuh suburnya start up digital yang mereka bentuk.
Dalam upaya merespon perubahan yang terjadi akibat revolusi industri 4.0, pendidikan bisnis harus melaksanakan transformasi baik penyelenggara/ institusi maupun layanan program yang ditawarkan kepada masyarakat. Artikel ini menawarkan gagasan strategi yang dapat diterapkan oleh penyelenggaran pendidikan bisnis agar dapat bertahan di era disrupsi. Strategi tersebut antara lain: kejelasan pengembangan program studi pendidikan bisnis, restrukturasi kurikulum, pengembangan dan pengayaan isi pembelajaran, peningkatan kemitraan dengan dunia usaha dan industri, peningkatan kualitas kemampuan berpikir kritis dan komplek, perubahan metode belajar mengajar, dan menciptakan entrepreneurial university.
Strategi tranformasi pendidikan bisnis akan berhasil apabila para pengampu kepentingan – penyelengara pendidikan bisnis, dunia industri dan pemerintah – berkolaborasi secara harmonis untuk mewujudkan startegi besar Making Indonesia 4.0. Kejelasan fungsi dan peran masing-masing pengampu kepentingan perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan program.
REFERENSI
Akrivou,
K., & Bradbury-Huang, H. (2015) Educating Integrated Catalysts:
Transforming Business Schools Toward Ethics and Sustainability Educating
Integrated Catalysts: Transforming Business Schools Toward Ethics and
Sustainability, Academy of Management
Learning & Education, Vol. 14 (2), 222–240. http://dx.doi.org/10.5465/amle.2012.0343
Arun Pereira (2019). Course
Correction: Recalibrating Experiential Learning in the MBA.
https://www.aacsb.edu/blog/2019/may/course-correction-recalibrating-experiential-learning-in-the-mba
Beck-Dudley, C. (2019), Flexible Business Education Models Allow for Disruption. https://www.aacsb.edu/blog/2019/may/flexible-business-education-models-allow-for-disruption
Chakravorti, B. & Chaturverdi, R.S. (2017) Digital
Planet 2017: How Competitiveness and Trust in Digital Economies vary Accross
The World. The Fletcher School – Tufts University.
Clark, B.R. (2004). Building The Entrepreneur University.
http://www.unesco.org/iau/iaunew42.html)
Financial
Times (2019) “How Business Schools compete in a distrupted market”, https://www.ft.com/content/6a77610e-76f2-11e9-b0ec-7dff87b9a4a2 (diakses
tanggal 4 juni 2019)
Hartomo,
O.D. (2018) Pendidikan Bisnis Menjawab Tantangan Disrupsi. JAWA POS, 12 September
2018.
LinkedIn (2017) The Digital Worksforce of the Future:
Acquire, Build and Growth Tech Talent. https://business.linkedin.com/content/dam/me/business/en-us/talent-solutions/cx/2017/PDFs/digital_workforce_future.pdf
Schwab, K. (2017). The
Fourth Industrial Revolution. Geneva: World Economic Forum.
SWA (2015) Membuka Babak Baru, Sekolah Bisnis
Berbasis Business Design Innovation. Edisi XXI, 30 Juni-8 Juli 2015
Thomas, H., Lorange, P. &nd Sheth, J.
(2013), The Business School in the 21st Century, Cambridge
University Press, Cambridge
Thomas, C.H.
& Eric, (2014)
"Transforming business school futures: business model innovation and the
continued search for academic legitimacy", Journal of Management
Development, Vol. 33 (5), https://doi.org/10.1108/JMD-02-2014-0016
World Economic Forum (2016) The Future of Jobs Report. http://reports.weforum.org/future-of-jobs-2016/shareable-infographics/?doing_wp_cron=1560314436.7463328838348388671875
Posting Komentar untuk "Strategi Transformasi Pendidikan Bisnis"